Status Wartawan Utama
Ilustrasi--
Tetapi bagaimana media bisa dihargai kalau pemimpin redaksi, penanggung jawabnya juga suka melanggar kode etik, berpihak kepada kelompok kepentingan, suka menuduh, mudah dirayu uang dalam bentuk berita berbayar padahal beritanya keras mengkritik dan menghantam.
Itulah sebabnya tudingan miring banyak terjadi. Ada media ternama yang seolah tegas dan kritis, hajar sana hajar sini, tetapi di media itu dimuat juga berita buatan pemesan yang isinya seperti rilis humas dan bahkan satu angle membela kepentingan lembaga.
Kok bisa berdampingan si cantik dan si buruk rupa? By design untuk cari setoran atau keberimbangan? Perlu ada studi kasus.
Saya pernah berkunjung ke sebuah media independen di Berlin pada tahun 2000 ketika diundang Institut Jurnalismus Berlin, saya lupa namanya.
Kantornya di lantai dua sebuah bagunan tua, mengingatkan saya pada kantor beberapa media di Asemka. Sederhana cenderung kurang terurus.
BACA JUGA:Ngotot Bela Panji Gumilang, Habib Kribo Ternyata Ikut Terlibat Kasus di Al-Zaytun?
Kami akhirnya tidak jadi bertemu di sana dan pindah ke sebuah kedai kopi karena di kantor itu rupanya tidak ada hidangan teh atau kopi.
Si redaktur menegaskan independensinya dan hanya mengandalkan pemasukan dari lembar koran yang terjual dan iklan.
Di kanan atas halaman satu tertulis juga, kira-kira bunyinya, mari bantu media independen dengan berlangganan atau membeli eceran.
Cuma itu dia, pemasukan minim, ekonomi media itu tidak berkembang.
Di Indonesia juga ada media yang diterbitkan yayasan atau perkumpulan, tidak mau berbadan hukum perusahaan, dan independen.
Karena mereka itu umumnya wartawan sekaligus aktivis, bagi mereka juga tidak penting sertifikat kompetensi. Medianya juga mendapat sumbangan lembaga atau perseorangan untuk operasional redaksii.
Yang jelas karya jurnalistiknya, kata orang Glodok, oke punya. Tidak ada masalah moral, karena mereka hanya menulis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: