Status Wartawan Utama
Ilustrasi--
Almarhum Leo Batubara beberapa kali mengecoh penanggung jawab media. “Coba kau sebutkan berapa pasal kode etik jurnalistik. 12 atau 15,” katanya menjebak.
Karena sama sekali tidak tahu, sedikit ragu dijawablah pertanyaan itu. “Lima belas, Pak.” “Ah kau ini. Baca ini,” ujarnya menyodorkan Buku Saku wartawan.
Membaca sebentar, barulah penanggung jawab media itu dengan mesem-mesem menjawab. “Sebelas pasal, Pak.”
Kejadian paling parah saya alami ketika memimpin sidang kasus sebuah media di Riau. Penanggung jawab dengan terus terang dia tidak bisa menulis ketika dikontrontir.
Dia mengaku meliput sebuah persidangan tetapi yang dimuat justru rilis, yang isinya menuding peradilan tidak objektif, dan beritanya cenderung menghakimi.
Lalu saya tanya mengapa bisa memiliki kartu Utama?
Dia berkisah, latar belakangnya Teknologi Informasi dan bekerja sebagai tenaga TI di medianya, tapi karena harus menjadi Pemred menggantikan kakaknya, dia diikutkan UKW. Rupanya dalam proses pengujian, peserta diberi pelatihan, lalu ada simulasi mata uji.
Termasuk membuat tajuk, mengevaluasi liputan investigasi dst. Hasil simulasi yang sudah dikoreksi, disesuaikan standar kelulusan, dijadikan karya di peserta dalam ujian sebenarnya. Ya luluslah dia.
Teguran sudah dilakukan Dewan Pers terhadap lembaga uji tersebut, dan lembaga uji lain yang dianggap mudah memberi kelulusan, tetapi saya tidak tahu apakah kualitas lulusannya lalu berubah.
Karena Dewan Pers tidak punya tangan mengecek satu persatu, jadi kualitas itu hanya bisa diketahui kalau media itu diadukan oleh masyarakat.
Kualitas dalam berbagai spektrum menjadi penting karena status Wartawan Utama terkait tanggung jawabnya memimpin media berimplikasi luas.
Media bertugas menjaga moralitas bangsa, mengingatkan kepada siapa saja khususnya pengelola negara di cabang eksekutif, legislatif, yudikatif, untuk menjalankan tugas sesuai sumpahnya, berpihak kepada rakyat, tidak menyalahgunakan jabatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: