Kuto Gawang, Fondasi Palembang Modern yang Dilupakan dan Pentingnya Revitalisasi Kawasan Palembang Lama

Kuto Gawang, Fondasi Palembang Modern yang dilupakan, dan pentingnya revitalisasi kawasan Palembang Lama.-Foto: dok sumeksco-
Oleh : HG Sutan Adil
Dalam historiografi Nusantara di Abad 15, kota-kota benteng pesisir memiliki peran sentral dalam mempertahankan kedaulatan dan perdagangannya. Diantara kota-kota ini, Kuto Gawang di Palembang Lama menempati posisi penting sebagai contoh sinergi antara kawasan arsitektur lokal dan strategi militer maritim.
Tak banyak yang tahu bahwa di tepi Sungai Musi, jauh sebelum munculnya gedung-gedung industri seperti di PT Pusri, PT Pertamina, Perlabuhan Boom Baru, Ex. PT Intirub, dan Bangunan Modern lainnya, pernah berdiri sebuah kota yang berbenteng besar yang menjadi pusat Kerajaan Palembang, kerajaan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam.
Meskipun sebagian besar struktur fisiknya telah hilang, berbagai catatan sejarah dari sumber Eropa dan lokal memungkinkan kita menyusun kembali gambaran sebuah kota lama dengan sebuah keraton berbenteng secara cukup rinci.
Inti dari Kota Palembang Lama ini adalah Keraton Kuto Gawang, sebuah keraton dengan struktur pertahanan maritim yang luar biasa untuk ukuran Nusantara abad ke-17. Keraton ini divisualisasikan dari catatan pelaut dan panglima Belanda seperti Joan Nieuhof dan Joan van der Laen yang menggambarkannya sebagai kota persegi panjang berukuran 1100 meter dengan dinding benteng dari kayu besi (unglen) setinggi 7.25 meter, lengkap dengan meriam-meriam, bastion (anjungan meriam),dan tembok tanah bagian dalam.
The city of Palimbang was fortified with vaft trunks of trees put clofe together, on which were planted a vaft number of great cannon, fo that it feemed impoffible to be taken by fo small a number, being befides this invironed with a deep and miry ditch.(Joan Nieuhof, p.187).
Sumber utama mengenai Keraton Kuto Gawang berasal dari laporan VOC dan penjelajah Belanda: Joan Nieuhof, dalam “Voyages and Travels to the East Indies (1653–1670)”, menyebutkan kota Palembang sebagai “dikelilingi oleh benteng kayu besar yang menjaga istana raja, dengan masjid dan tempat tinggal bangsawan di dalamnya.”
Joan van der Laen, komandan serangan VOC ke Palembang tahun 1659, membuat sketsa yang menunjukkan tata letak Kuto Gawang, lengkap dengan tembok, sungai-sungai sekitar, dan tiga bastion menghadap Sungai Musi. Sketsa ini diterbitkan tahun 1719 dalam dokumen VOC yang kini tersimpan diBelanda (Nationaal Archief).
Disamping catatan kedua orang saksi mata diatas, sejarawan Belanda seperti H. D. Colenbrander dan J.A. van der Chijs mencatat bahwa Palembang adalah kota pelabuhan yang penting dengan pertahanan yang luar biasa untuk ukuran kota Melayu pada masa itu. Dalam Nederlandsch-Indië disebutkan: "Kuto Gawang dibangun dari balok kayu keras yang ditanam sedalam fondasi batu; tidak mudah ditembus, bahkan oleh meriam."
Prof. Dr. Djajadiningrat mencatat bahwa Palembang merupakan satu dari sedikit kesultanan di Sumatera yang mempertahankan sistem pertahanan maritim dan sungai dengan teknologi adaptif (Djajadiningrat, Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra, 1960). Selain sumber-sumber kolonial dan nasional, narasi lokal mengenai Kuto Gawang juga diperkuat oleh pandangan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, yang selama puluhan tahun meneliti sejarah kota tua Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Dalam berbagai wawancara dan seminar budaya, Djohan Hanafiah menegaskan bahwa Kuto Gawang bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertahanan dan peradaban sungai. Ia menyebutkan bahwa: “Kuto Gawang bukan hanya keraton, tapi benteng strategis yang berdiri di tengah simpul perairan.
Lokasi itu dipilih karena pertahanan alami sungai-sungai kecil dan kanal. Kuto ini dikelilingi air dan jalur perdagangan.”(Djohan Hanafiah,1987) Palembang Lama dengan Keraton Kuto Gawang sebagai intinya merupakan kota-benteng maritim yang mencerminkan kearifan lokal dalam pertahanan dan pusat kekuasaan. Lokasinya yang strategis, sistem pertahanan sungai, serta interaksi internasional menjadikannya sebagai salah satu contoh kota pelabuhan Melayu yang canggih dan bukti kemampuan adaptif arsitektur lokal terhadap ancaman kolonial abad ke-17. Keberadaannya menegaskan posisi Palembang sebagai kekuatan penting di jalur rempah dan pelayaran regional.
Dalam catatan sejarah, Keraton Kuto Gawang berbentuk persegi panjang 700 depa (±1100 m) dan dikelilingi oleh dinding dari balok kayu unglen atau kayu besi berukuran 30x30 cm setinggi ±7,25 meter. Dinding ini diperkuat oleh tembok tanah bagian dalam tempat meriam-meriam pertahanan diletakkan. Kuto Gawang dibangun di antara tiga sungai penting: Sungai Rengas (di tengah), Sungai Tali Gawe (timur), Sungai Buah (barat). Ketiganya memisahkan benteng dari daratan sekitarnya dan memberi keuntungan alami dari segi pertahanan.
Di dalam keraton terdapat: Istana Pageran sebagai pusat pemerintahan, Masjid Agung sebagai pusat keagamaan dan pembinaan umat, Kompleks pemukiman bangsawan dan elite lokal. Sedangkan Pendatang lokal dari Nusantara membangun kawasan rumah di luar sisi kiri dan sisi kanan yang dipisahkan oleh pembatas sungai tersebut diatas. Tiga baluarti/bastion dibangun di sisi Sungai Musi, satu di antaranya menggunakan batu bata dan dua lainnya dari kayu. Bastion ini dilengkapi dengan: Meriam-meriam besar dan lelo, Sistem pertahanan sungai yang ditopang oleh benteng tanah.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: