Menakar Sensitivitas Kaum Hedonis Baru

Menakar Sensitivitas Kaum Hedonis Baru

Sukirman--

Cara mengkurnya sederhana apakah yang pamer kemewahan itu betul-betul hidup mewah, apakah yang pamer kebahagiaan itu betul-betul hidup Bahagia, apakah yang pamer dalam majelis intelektual itu betul-betul memiliki kecerdasan berpikir.

BACA JUGA:Laskar Wong Kito Tetap Fokus Laga Perdana 10 September 2023 di Jakabaring, Sriwijaya FC vs Sada Sumut FC

Yang pasti medsos selain bermanfaat tetapi memiliki modhorat yang tak kalah buruknya. Apakah sampai di sini…..? ternyata tidak, jika kaum hedonis baru itu adalah seorang perempuan dengan atribut pakaian yang mencerminkan bahwa dia seorang agamis, tetapi memamerkan kepemilikin berlebih, maka timbul anomali kehidupan.

Di sisi lain dia tampak alim tetapi  di sudut yang lain dia tidak peduli suaminya dapat uang dari mana, dan anomali ini akan semakin berada di titik nadir, jika keinginan untuk “show” menunjukkan kemewahan dan kepemilikan itu ke ruang publik, baik itu panggung “off-air” maupun “on-air”. 

Off-air hanya sebatas nafsu ingin keluar rumah untuk “hanging-out” dan On-air minimal mengunggahnya ke media social. Anomali karena saya berkeyakinan masyarakat Indoensia itu adalah masyarakat relijius.

Namun karena kuatnya nafsu untuk menjadi “selebriti” dan “hedonis” ini , sadar atau tidak, kaum wanita yang hobi show tadi masuk ke sebuah perkumpulan termasuk yang beratribut agama, dengan tidak merubah prilaku.

BACA JUGA:WAHAI Pecinta SUZUKI Jimny Bersiapklah! Sinyal Jimny 5 Pintu Segera Mengaspal Makin Kuat

Perkumpulan itu juga dijadikan panggung untuk mempertontonkan kepemilian sebagai kaum “hedon”. 

Timbul sebuah kegamangan intelektual, kegamangan rasa dan kegamangan prilaku, yang mungkin sulit dirumuskan oleh para peneiliti ilmu sosial, karena selalu tidak simteris. 

Kita berasumsi bahwa kaum hedonis baru dalam berbagai level dan strata sosial memiliki kepemilikan diperoleh dengan cara yang wajar, alias bukan hasil korupsi dan kejahatan lainnya.

Masalahnya untuk ukuran sebuah  sistem sosial apalagi di Indonesia yang ketimpangannya cukup tinggi, ini keluar dari garis kepantasan dan kepatutan.

BACA JUGA:WAHAI Pecinta SUZUKI Jimny Bersiapklah! Sinyal Jimny 5 Pintu Segera Mengaspal Makin Kuat

Masalahnya ditengah alam demokrasi saat ini, tidak ada cara efektif untuk membangun kesadaran ini, apalagi panggungnya memang tersedia dan terbuka.

Yang dibutuhkan saat ini apakah prilaku ini akan distop sebatas himbauan apara ulama, atau bisa jadi dituangkan dalam bentuk peraturan, yang berarti tugasnya para politisi untuk merumuskannya dalam peraturan yang muaranya untuk mencegah social disorder. 

Ketika tulisan ini dibuat kasus Mario dandy masih dalam persidangan, tetapai efek domino dari kasus ini melebar sedemikian rupa sebut saja orang tua Mario sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: