Ini Alasan Menag Mengapa Perlu Banyak Petugas Haji Wanita

Ini Alasan Menag Mengapa Perlu Banyak Petugas Haji Wanita

Mekah Almukaromah. Foto Makkah Madinah Instagram--

Sebab, dapat menekan biaya sedemikian rupa sehingga pelunasan jemaah lebih kecil dari usulan Kemenag. 

Bahkan, ada keputusan politik bahwa sekitar 84 ribu jemaah haji lunas tunda tahun 2020 dibebaskan dari biaya pelunasan. Sementara jemaah lunas tunda tahun 1444 H/2022 M membayar Rp 9,4 juta, dan jemaah tahun 2023 membayar Rp23, 5juta.

"Jika dicermati lebih seksama, keputusan di DPR tadi malam sesungguhnya merupakan keputusan yang berorientasi jangka pendek semata dan bercampur muatan politis, maklum di tahun politik seperti sekarang dimana pemilu akan digelar tahun depan tentu DPR tidak ingin popularitasnya anjlok dan kehilangan pamor di masyarakat," terang Mustolih dalam siaran persnya, Kamis.

"Sehingga yang dikorbankan adalah kepentingan dari 5,2 juta jemaah haji tunggu yang masa antrinya bisa mencapai 60 tahun mendatang baru berangkat," sambungnya.

Menurut Mustolih, nilai manfaat yang seharusnya menjadi hak mereka diambil lebih dahulu untuk menambal/mensubsidi biaya jemaah haji pada tahun ini. Sehingga, seolah-olah biayanya murah dengan bantuan subsidi biaya berkisar Rp. 40.237.937 juta /per orang. 

Jika dibandingkan dengan jemaah haji tunggu yang jumlahnya 5,2 juta, lanjut Mustolih, mereka hanya diberikan imbal hasil rata-rata Rp2 triliun (20 %) yang disalurkan melalui virtual account (VA). Jika dibreakdown, nilainya Rp350 ribu per jemaah per tahun.

"Kemenag dan BPKH tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti kemauan DPR, karena DPR punya senjata pamungkas yakni Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 8/2019 dimana BPIH harus mendapat persetujuan DPR," tegasnya.

Mustolih menilai, subsidi semacam ini sejatinya tidak memiliki landasan hukum. Sebab, jika merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) pengelolaan dana haji oleh BPKH harus menggunakan sistem syariah, yakni menggunakan akad wakalah.

Sehingga, setoran pokok maupun hasil kelolaannya merupakan hak dari jemaah itu sendiri (shohibul maal). Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Pengelolaan Keuangan Salinan Tahun 2oi4 tentang Haji.

BACA JUGA:Jemaah Haji Indonesia Terbesar tapi Proporsi Produk Indonesia Masih Minim

Hal ini dipertegas juga oleh Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV Tahun 2012 dan Fatwa DSN MUI Nomor 122/DSN-MUI/DSN/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus Berdasarkan Prinsip Syariah.

Subsidi dan tambal sulam seperti ini, kata Mustolih, sesungguhnya mengadopsi skema Ponzi (Ponzi Sceam). Konsep ini digagas oleh Charles Ponzi, pebisnis asal Amerika Serikat, di mana jemaah haji yang lebih dahulu berangkat dibiayai dari uang jemaah yang masih menunggu antrian.

Jika melihat data dari BPKH sejak efektif dibentuk tahun 2017, skema Ponzi memang tidak terhindarkan rinciannya sebagai berikut:

- Tahun 2018, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp5,7 triliun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp777,3 milyar, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menguras dana sebesar Rp6,54 triliun

- Tahun 2019, nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp7,36 trilyun. Pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp1,08 triliun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menggerus dana sebesar Rp6,81 triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: