Mengulik Reformasi Birokrasi Di Penghujung Kekuasaan
Sukirman.--
Kembali ke soal PNS dan PPPK, Idealnya sesuai dengan sebutannya PPPK yaitu pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Seharusnya PPPK bersifat adhoc bukan pegawai permanen. Secara imajiner bisa kita diilustrasikan seperti ini, misalkan suatu lembaga membutuhkan SDM yang ahli untuk mendidik pegawai mengoperasikan computer, si ahli ini dikontraklah sebagai PPPK selama setahun, setelah itu selesai.
Oleh sebab itu penghasilan PPPK seharusnya lebih besar karena keahliannya. Yang aneh jika pegawai PPPK tidak boleh mendaftar (ikut test) PNS. Inilah yang saya maksud jika berbeda mengapa dipaksakan harus sama, dan jika sama mengapa dipaksakan berbeda.
Akan lebih lucu lagi apabila PPPK diperbolehkan masuk ke jabatan struktural. Jelas tidak ada pembeda antara PNS dan PPPK. Tetapi logika yang saya paparkan itu menjadi sulit ketika misalnya berkaitan dengan guru.
Guru tidaklah mungkin diangkat PPPK dengan durasi kontrak setahun atau 5 tahun. Disini, kembali lagi mengapa harus di-PPPK-kan jika bisa PNS. Akhirnya aturan itu tidak linier dan tidak konsisten, penuh dengan pengecualian.
Jika seperti ini cara berpikir kita dalam mengelola negara (baca ASN) berarti negara ada kepentingan tersembunyi atas pembedaan itu. Bisa jadi minimal kepentingannya agar negara tidak terbebani dari sisi keuangan.
Sekali lagi tidak ada yang berani mengingkari terminology efektivitas dan efisiensi, tetapi jika hanya mengelak agar tak terbebani, itu tak selaras dengan Pembukaan UUD 1945 itu sendiri.
Bukankah negara memang bertanggung jawab atas kemakmuran rakyatnya, diantaranya melalui pekerjaan. Bahwa ASN adalah orang pilihan, itulah gunanya seleksi yang fair dengan sistem recruitment yang kuat.
Lelang Jabatan
Isu berikutnya adalah lelang jabatan. Untuk jabatan JPT Madya (eselon 1) yang seharusnya menjadi puncak karir seroang PNS dimungkinkan diisi oleh Non ASN karena memang peraturan memungkinkan untuk itu.
Sementara Untuk jabatan JPT Pratama (eselon II) yang belakangan ini sepertinya menjadi trending adalah lelang jabatan yang memungkinkan diisi oleh SDM di luar institusi tersebut.
Sekilas pekerjaan lelang jabatan ini adalah cara legal formal untuk merekrut orang terbaik, orang yang tepat di tempat yang tepat. Tetapi jika dirunut secara akal sehat, manalah mungkin orang luar bisa lebih paham atas pekerjaan dibanding orang dalam instansi itu.
Jabatan itu seharusnya dikontestasikan untuk internal lembaga, terkecuali lembaga itu memang krisis SDM. Sebuah lembaga yang baru terbentuk dan belum memiliki SDM yang terpola, atau jika ada pun belum memenuhi syarat untuk jabatan eselon II, tentu jadi pengecualian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: