Banner Pemprov
Pemkot Baru

Gaya Komunikasi Pejabat Publik dan Peran Media Sosial dalam Pembentukan Opini Publik di Indonesia

Gaya Komunikasi Pejabat Publik dan Peran Media Sosial dalam Pembentukan Opini Publik di Indonesia

Menkeu Purbaya heran pertanyaan wartawan soal Cawapres. --

4. Gaya Humor dan "Fleksing": Fenomena "fleksing" atau pamer kekayaan oleh pejabat di media sosial menjadi sorotan. Gaya komunikasi yang memamerkan gaya hidup mewah ini bertolak belakang dengan kondisi sebagian besar masyarakat dan berpotensi merusak citra pejabat. Selain itu, ada juga pejabat yang menggunakan humor atau tren media sosial untuk menarik perhatian, namun sering kali menimbulkan perdebatan tentang etika pejabat publik

Dampak Media Sosial dalam Pembentukan Opini Publik

BACA JUGA:Pelaku Penganiayaan Sebabkan Korban Meninggal Dunia di Palembang Diringkus Sembunyi di Rumah Teman

BACA JUGA:Tujuh Arahan Strategis Kapolda Sumsel Jadi Pedoman Operasional Triwulan IV

Media sosial memainkan peran vital dalam membentuk opini publik terhadap pejabat di Indonesia.

1) Volatilitas Opini: Opini publik di media sosial cenderung lebih cepat berubah dibandingkan di media tradisional. Sebuah isu bisa menjadi viral dalam hitungan jam dan mengubah persepsi publik secara masif. Hal ini membuat pejabat harus sangat berhati-hati dengan setiap unggahan atau komentar yang mereka buat.

2) Interaksi Dua Arah: Media sosial memungkinkan masyarakat untuk memberikan tanggapan secara langsung, baik berupa pujian, kritik, maupun saran. Pejabat yang responsif dan terbuka terhadap masukan akan dinilai positif, sementara yang mengabaikan atau bersikap defensif akan menuai kritik.

3) Agenda Setting yang Dinamis: Tidak hanya media massa konvensional, media sosial juga memiliki kekuatan untuk mengatur agenda. Isu yang digaungkan oleh influencer atau publik bisa mendesak pejabat untuk merespons atau mengambil tindakan tertentu.

4) Penyebaran Disinformasi: Cepatnya penyebaran informasi di media sosial juga memicu munculnya hoaks dan disinformasi. Opini publik bisa digiring ke arah yang salah oleh narasi yang menyesatkan, yang dapat merugikan pejabat dan lembaga yang mereka pimpin. 

Tantangan Komunikasi di Era Digital

Tinjauan ini menunjukkan bahwa pejabat publik di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola komunikasi di era digital. Mereka harus mampu menyeimbangkan antara keterbukaan, membangun citra positif, dan menjaga substansi kebijakan. Dalam fenomena ruang digital saat ini, terlihat bahwa banyak pejabat publik masih gagap dalam mengadopsi pola komunikasi yang efektif di platform digital. Terkadang, mereka terlalu fokus pada komunikasi satu arah—sekadar mengunggah pencapaian atau kebijakan tanpa membangun dialog yang berarti dengan publik. Akibatnya, alih-alih membangun kedekatan, yang terjadi justru munculnya jurang ketidakpercayaan/skeptisme.

Dalam Carl Hovland, Janis dan Kelley dalam bukunya Communication and Persuasion (1953), menyampaikan teori komunikasi source credibility theory yang menyatakan bahwa penerimaan pesan sangat bergantung pada persepsi audiens terhadap kredibilitas komunikator. Teori ini menekankan bahwa kredibilitas sumber yang tinggi dapat meningkatkan penerimaan pesan, dan sering kali diukur melalui tiga dimensi utama: keahlian (expertise), kepercayaan (trustworthiness), dan daya tarik (attractiveness).

Dari teori komunikasi ini, kita dapat memahami bahwa konten yang diunggah pejabat publik di media sosial akan membentuk persepsi dan penerimaan masyarakat. Persepsi positif akan terbentuk manakala sumber informasi tersebut dipandang layak dari sisi keahliannya, memiliki daya tarik, serta dapat dipercaya. 

Sebuah contoh menarik adalah moment pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya. Awalnya publik memperlihatkan persepsi dan respon negatif atas proses pergantian tersebut. Publik memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atas kredibilitas Sri Mulyani yang memiliki reputasi sangat baik sebagai Menteri keuangan, yang mampu menjaga stabilitas ekonomi selama beberapa periode. Sementara masyarakat sangat meragukan kredibilitas Purbaya yang rekam jejaknya belum banyak diketahui, serta gaya komunikasinya diawal yang sangat kontradiktif dengan gaya komunikasi birokrat yang tertata.

Purbaya bergaya ala koboy, blak-blakan, dan terkesan sombong dengan mengatakan bahwa IHSG akan “to the moon”. Namun, setelah sempat blunder diawal, Purbaya mampu segera beradaptasi dan meraih kepercayaan publik, seiring masyarakat mulai mengenal dan mengakui kredibilitas personalnya serta menyaksikan bahwa Purbaya mampu membuktikan ucapannya terkait pasar modal yang akan “to the moon”, IHSG mampu segera berbalik arah secara positif bahkan mencapai rekor tertinggi > 8.200. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait