Banner Pemprov
Pemkot Baru

Ketika Kapur Terkikis Gadget: Guru di Tengah “Perang Sunyi” Pendidikan Modern

Ketika Kapur Terkikis Gadget: Guru di Tengah “Perang Sunyi” Pendidikan Modern

Merrieayu PH-foto: dok-

Merrieayu P.H dan Prof. Isnawijayanti,M.Si., Ph.D

Di tengah derasnya arus digital, guru kini tak hanya berhadapan dengan siswa, tetapi juga dengan ekspektasi orang tua, tekanan sosial media, dan sistem pendidikan yang terus berubah. Fenomena ini menggambarkan “perang sunyi” yang sedang dihadapi dunia pendidikan — perang antara idealisme mendidik dan realitas sosial yang kian rumit.

Suara guru yang dulu menjadi pusat perhatian di kelas, kini sering kalah oleh notifikasi ponsel. Kapur putih yang dahulu simbol ilmu dan ketulusan, kini seolah kehilangan makna di tengah sorotan kamera, unggahan media sosial, dan opini publik yang bisa dengan cepat menghakimi.

Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh kasus benturan antara guru dan wali murid. Salah satu contohnya, sebagaimana diberitakan Kompas.com (2024) dan Detik.com (2023), terjadi ketika teguran guru terhadap siswa justru berujung laporan hukum. Di media sosial, potongan video atau chat menjadi “bukti” yang langsung viral tanpa konteks, menggiring opini seolah guru selalu pihak yang bersalah.

Padahal, masalahnya jauh lebih kompleks. Guru kini berada di persimpangan peran yang sulit: mereka dituntut menjadi pengajar, pembimbing karakter, sekaligus penghibur dan mediator sosial. Di saat yang sama, murid hidup dalam dunia yang sangat berbeda — generasi yang lebih kritis, lebih cepat berpendapat, tetapi sering kali kurang siap menerima disiplin dan batasan.

Sementara itu, orang tua modern juga berada di bawah tekanan luar biasa: tuntutan ekonomi, kekhawatiran akan masa depan anak, serta paparan media sosial yang membuat mereka mudah membandingkan anak dan sekolah. Maka ketika terjadi sedikit gesekan, emosi bisa lebih cepat meledak daripada dialog.

Namun perang ini sebenarnya tidak perlu ada. Guru, siswa, dan orang tua seharusnya berada di barisan yang sama — memperjuangkan kualitas pendidikan dan karakter bangsa. Guru perlu dilindungi dan diberdayakan, bukan dicurigai. Orang tua perlu diajak menjadi mitra sejajar, bukan pengawas yang selalu menilai. Dan sistem pendidikan harus kembali menempatkan kemanusiaan di atas administrasi.

Pendidikan sejati lahir dari kepercayaan dan kerja sama. Jika kita terus membiarkan perang ini berlangsung, bukan guru yang benar-benar kalah — tetapi masa depan generasi kita yang kian kehilangan arah. Karena ketika suara guru tak lagi didengar, yang hening bukan hanya ruang kelas, melainkan juga nurani bangsa itu sendiri. (*)

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait