Praktik ini dinilai banyak kalangan sebagai bentuk "perbudakan modern" di era digital. Para kurir terjebak dalam sistem kerja yang eksploitatif namun berkedok fleksibilitas kemitraan.
Padahal, dari segi operasional, para kurir masih diwajibkan mengikuti semua prosedur perusahaan layaknya pekerja tetap.
Kondisi ini memicu reaksi dari berbagai serikat pekerja dan organisasi pendamping pekerja informal.
Diantaranya mereka mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk turun tangan dan mengaudit sistem kerja di SPX.
Sebab, jika dibiarkan, pola serupa dikhawatirkan akan ditiru oleh perusahaan-perusahaan logistik dan layanan digital lainnya.
Ini soal keadilan dan hak asasi manusia dalam dunia kerja. Tidak boleh membiarkan perusahaan besar memanfaatkan celah hukum untuk menindas pekerja.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada informasi lebih lanjut dari manajemen Shopee Express terkait perubahan status kerja kurir maupun sistem insentif yang dikeluhkan.
Namun, tekanan publik semakin menguat, dan tuntutan terhadap transparansi serta perlindungan pekerja kini menjadi sorotan utama.
BACA JUGA:Iri Hati Orderannya Lebih Banyak, Kurir Paket di Palembang Ditinju Oleh Rekan Seprofesi
BACA JUGA:Residivis Curi Tas Berisi Uang dan Handphone Milik Kurir Paket Online
Fenomena ini menjadi cermin kerasnya realitas kerja di balik layanan yang selama ini memudahkan hidup masyarakat.
Di balik setiap paket yang tiba tepat waktu, ada tangan-tangan lelah para kurir yang berjuang tanpa kepastian