Dalam Pasal 1 ayat (2) undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain yang fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tessa menegaskan bahwa KPK masih memiliki ruang untuk menindak Direksi dan Komisaris BUMN, namun perlu dilakukan kajian mendalam terkait dampak UU BUMN yang baru terhadap lingkup kewenangan lembaga antirasuah tersebut.
"KPK akan mengkaji lebih dalam UU BUMN yang baru ini, khususnya mengenai status hukum direksi maupun komisaris yang kini disebut bukan penyelenggara negara. Ini penting agar penegakan hukum tetap berjalan dalam koridor yang benar," jelasnya.
Ia juga menambahkan, kajian ini akan melibatkan Biro Hukum dan Kedeputian KPK guna menilai sejauh mana implikasi undang-undang tersebut terhadap upaya pemberantasan korupsi di sektor BUMN.
Kajian ini dianggap mendesak, terutama seiring dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam menekan kebocoran anggaran negara yang selama ini menjadi salah satu titik rawan korupsi, termasuk di lingkungan BUMN.
"Kajian ini juga bertujuan agar KPK dapat memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah dalam hal perbaikan regulasi, terutama yang menyangkut pemberantasan korupsi," ujar Tessa.
Dalam penutup keterangannya, Tessa menegaskan bahwa KPK adalah pelaksana undang-undang, bukan pembuat kebijakan.
Oleh karena itu, setiap tindakan hukum yang diambil KPK akan selalu mengacu pada regulasi yang berlaku, termasuk terhadap status hukum Direksi dan Komisaris BUMN.
"Kami tidak boleh dan tidak akan menabrak aturan. Namun kami akan pastikan bahwa semua yang merugikan keuangan negara tetap bisa ditindak sesuai hukum," pungkasnya.
Dengan pernyataan ini, KPK berharap masyarakat tidak salah paham dan tetap percaya bahwa upaya pemberantasan korupsi akan terus berjalan tanpa pandang bulu, termasuk di tubuh BUMN.