Meski demikian, kehadiran senjata di tengah kericuhan tetap menjadi sorotan serius.
Polisi menyebut senjata tersebut dibeli secara khusus dan sengaja dibawa untuk mengintimidasi serta memberikan perlawanan saat pengambilalihan dilakukan.
Ilustrasi Bentrokan Mencekam Dua Kelompok di Kemang, Diduga Bersenjata Laras Panjang--
Hal ini memperkuat dugaan bahwa aksi tersebut telah direncanakan dan bukan spontanitas belaka.
Dalam proses hukumnya, polisi mengamankan total 25 orang yang diduga terlibat dalam bentrokan.
Dari jumlah tersebut, 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk pelaku pembawa senapan angin.
Mereka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang mengatur kepemilikan senjata tanpa izin.
Hingga saat ini, penyidik masih memburu sosok yang diduga menjadi otak di balik aksi penyerangan tersebut.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa kelompok penyerang merupakan hasil mobilisasi dari luar wilayah, diduga disewa secara khusus untuk melakukan eksekusi lahan.
Penyidikan terus berkembang, hingga bakal mencari siapa yang membiayai, siapa yang memerintahkan, karena jelas bahwa kelompok ini bergerak secara terorganisir.
Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang rentannya konflik agraria, bahkan di tengah kawasan metropolitan seperti Jakarta.
Ketika proses hukum dan mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, jalan kekerasan pun menjadi pilihan yang tragis dan merugikan semua pihak.
Masyarakat sekitar Kemang yang sempat panik akibat suara letusan dan kerumunan orang bersenjata kini berharap aparat dapat menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
Warga juga meminta adanya peningkatan patroli dan pengamanan agar kejadian serupa tidak terulang.
Pihak kepolisian mengimbau seluruh pihak yang terlibat dalam sengketa tanah untuk menempuh jalur hukum dan menghindari aksi sepihak yang berpotensi menimbulkan kekerasan.
Penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi kunci dalam meredam konflik lahan yang kian marak di Ibu Kota.