SUMEKS.CO - Di lingkungan PNS, isu yang paling menyita perhatian saat ini bukan soal diundangkannya UU Nomor 20 Tahun 2023 pada 31 Oktober 2023, tetapi adalah penghapusan eselon III dan eselon IV.
Tentu tidaklah salah jika ada yang mengkaitkannya dengan prasasti Jokowi di penghujung kekuasaan. Bukankah Presiden SBY juga melakukan hal serupa yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 juga tentang ASN.
Pertanyaan yang masih menyelimuti PNS adalah betulkah reformasi yang sekarang berjalan adalah kebijakan Presiden Jokowi atau salah tafsir atas keinginan Jokowi.
Tidak ada kekhawatiran yang paling besar selain keraguan atas tafsir perintah Jokowi tersebut. Oleh sebab itu yang alergi dengan tulisan ini jangan dulu menjustifikasi bahwa tulisan ini anti perubahan.
BACA JUGA:Resmi Ajukan Gugatan Cerai, Artis Okie Agustina : Saya Wujudkan Keinginan Suami Saya
Perubahan adalah keniscayaan, tetapi berubah tanpa arah yang jelas akan menghabiskan energy dan uang. Tengok UU ASN Nomor 5 tahun 2014, baru berusia 9 tahun sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Lihat pula PP 11 Tahun 2017 yang belum berusia 3 tahun sudah diubah menjadi PP 17 tahun 2020. Perubahan tentu tidak identik dengan asal berubah.
Membatasi eselonisasi hanya dua level yaitu JPT Madya dan JPT Pratama adalah suatu yang dipaksakan.
Yang paling masuk akal adalah mengurangi atau memangkas jabatan eselonisasi. Memangkas juga harus holistik termasuk jabatan puncak JPT Madya.
BACA JUGA:9 Tips Mendesain Kamar Mandi Minimalis Kecil yang Sempit Tapi Tetap Estetis, Mudah Ditiru!
Sangatlah tidak adil jika perhatian kita hanya tefokus pada pemangkasan eselon III kebawah, sementara di level eselon I dan eselon II dibiarkan.
Efisiensi yang menghapus tangga karir
Efisiensi dan efektivitas adalah wajar, lumrah dan suatu keharusan karena akan menjadi “ruh” dari suatu organisasi atau lembaga.
Tetapi memberangus eselon III dan eselon IV adalah sebuah pengingkaran terhadap organisasi. Seorang Kepala (dari eselon IV hingga eselon I) otomatis merangkap menjadi pimpinan.
Oleh sebab itu training-nya-pun dahulu disebut Diklat PIM (diklat kepemimpinan) bukan diklat ke-kepala-an. Memimpin pada dasarnya mengelola manusia dimana dibutuhkan bakat, seni, dan ilmu.