Mengulik Reformasi Birokrasi Di Penghujung Kekuasaan

Sabtu 11-11-2023,11:45 WIB
Editor : Rahmat

BACA JUGA:Menjamur di Indonesia, 6 Jenis Mobil Innova Ini Ternyata Bisa Tentukan Status Sosial Seseorang, Alamak!

Akan lebih lucu lagi apabila  PPPK diperbolehkan masuk ke jabatan struktural. Jelas tidak ada pembeda antara PNS dan PPPK. Tetapi logika yang saya paparkan itu menjadi sulit ketika misalnya berkaitan dengan guru.

Guru tidaklah mungkin diangkat PPPK dengan durasi kontrak  setahun atau 5 tahun. Disini, kembali lagi mengapa harus di-PPPK-kan jika bisa PNS. Akhirnya aturan itu tidak linier dan tidak konsisten, penuh dengan pengecualian. 

Jika seperti ini cara berpikir kita dalam mengelola  negara (baca ASN) berarti negara ada kepentingan tersembunyi atas pembedaan itu. Bisa jadi minimal  kepentingannya agar negara tidak terbebani dari sisi keuangan.

Sekali lagi tidak ada yang berani mengingkari terminology efektivitas dan efisiensi, tetapi jika hanya mengelak agar tak terbebani, itu tak selaras dengan Pembukaan UUD 1945 itu sendiri.

BACA JUGA:Pilot Apache Israel Akui Tembak Penonton yang Kabur Saat ‘Konser’ Secara Membabi Buta, Alasannya Panik!

Bukankah negara memang bertanggung jawab atas kemakmuran rakyatnya, diantaranya melalui pekerjaan. Bahwa ASN adalah orang pilihan,  itulah gunanya seleksi yang fair dengan sistem recruitment yang kuat. 

Lelang Jabatan

Isu berikutnya adalah lelang jabatan.  Untuk jabatan JPT Madya (eselon 1)  yang seharusnya menjadi puncak karir seroang PNS dimungkinkan diisi oleh Non ASN karena memang peraturan memungkinkan untuk itu.

Sementara Untuk jabatan JPT Pratama (eselon II) yang belakangan ini sepertinya  menjadi trending adalah lelang jabatan yang memungkinkan diisi oleh SDM di luar institusi tersebut. 

Sekilas pekerjaan lelang jabatan ini adalah cara legal formal untuk  merekrut orang terbaik, orang yang tepat di tempat yang tepat. Tetapi jika dirunut secara akal sehat, manalah mungkin orang luar bisa lebih paham atas pekerjaan dibanding orang dalam instansi itu. 

Jabatan itu seharusnya  dikontestasikan untuk internal lembaga, terkecuali lembaga itu memang krisis SDM. Sebuah lembaga yang baru terbentuk dan  belum memiliki SDM yang terpola, atau jika ada pun belum memenuhi syarat untuk jabatan eselon II, tentu jadi pengecualian. 

BACA JUGA:7 Desain Rumah Ini Cocok dengan Iklim Tropis di Indonesia, Nomor 6 Banyak Diminati

Nah dari sinilah juga pentingnya  eselonisasi itu berjenjang. Jika diberangus bagaimana menilai SDM itu secara berjenjang. PP sebagai derivatif dari UU nomor 20 tahun 2023 ini nantinya harus betul-betul mengatur detail, tegas dan jelas mana yang harus di lelang terbuka, mana yang harus lelang tertutup (khusus internal lembaga).

Penilaian berjenjang setelah sistem rekrutmen yang handal, otomatis membuat jabatan itu mengalir dengan sendirinya, tidak perlu lelang jabatan.  Dan yang pasti lelang jabatan itu menghamburkan uang negara yang seharus bisa digunakan untuk program yang lebih bermanfaat.

Lebih dari itu coba direnungi dengan sungguh-sungguh, apa artinya sistem rekrutmen pegawai baru yang ketat jika di kemudian hari SDM yang ada  tidak dipercaya.(*)

Kategori :