Abdul, warga Muara Kulam, yang lahir di rompok Senawar mengungkapkan, rompok-rompok di tiga wilayah itu jauh dari permukiman warga.
Saat harga getah karet stabil, banyak penduduk yang tinggal di rompok. Satu rompok bisa 100-200 KK.
Karena itu, ada sekolah lokal jauh.
BACA JUGA:Oknum Kades di OKI Korupsi Dana BLT Covid-19 Ratusan Juta, Ngaku untuk Biaya Sekolah Anak
“Sekolah induk terlampau jauh untuk dicapai warga warga,” katanya.
Saat ini, sudah banyak rompok yang ditinggalkan penghuninya seiring terus merosotnya harga getah karet.
Tapi sebagian memilih bertahan dengan beragam keterbatasan di tiga rompok tersebut.
Ditambahkan Sukari, warga Ulu Rawas, anak-anak dari rompok tidak mudah untuk mencapai sekolah.
BACA JUGA:Oknum Kades di OKI Korupsi Dana BLT Covid-19 Ratusan Juta, Ngaku untuk Biaya Sekolah Anak
Karena lewat sungai, makanya didampingi para orang tua mereka.
“Yang jadi masalah, guru mereka. Jauh bolak balik dari Batu Tulis ke sekolah,” imbuh dia.
Diakuinya, warga yang bertahan di rompok merupakan rakyat jelata yang menggantungkan hidup dari menyadap karet.
Mereka lalu membentuk komunitas, dengan jumlah puluhan hingga ratusan KK.
BACA JUGA:Oknum Kades di OKI Korupsi Dana BLT Covid-19 Ratusan Juta, Ngaku untuk Biaya Sekolah Anak