Juga bagaimana para pengelola media besar internasional menghadapi perubahan yang terjadi, terutama menghadapi disrupsi dalam industri media.
Rekam jejak Irwan Setyawan sebagai praktisi media dengan pengalaman selama 30 tahun lebih terlihat jelas dalam buku ini.
Analisa yang tajam disampaikan dengan bahasa yang runut dan mudah dipahami meski berlimpah data dari berbagai sumber yang kredibel.
Penulis menjelaskan, hanya dalam beberapa tahun belakangan, bisnis industri televisi meredup.
Iklan yang menjadi napas utama industri media secara fenomenal beralih ke media berbasis internet alias streaming.
Kalau dulu televisi broadcasting lah sasaran utama pada pemasang iklan.
Namun kini, porsi besar iklan beralih ke raksasa teknologi semacam Google dan Alphabet melalui dua platform digitalnya, yaitu Youtube dan Facebook
Alphabet memperoleh pendapatan iklannya sebanyak 88 persen. Sedangkan Facebook lebih besar lagi, 95 persen pendapatannya dari iklan.
Bukan saja iklan, kehadiran TV streaming di channel Youtube dan Netflix pun sukses merebut penonton TV konvensional penikmat hiburan.
Lengkaplah sudah nasib buruk industri televisi konvensional.
Perusahaan media televisi di seluruh dunia pun terkena imbasnya. Langkah efisiensi harus ditempuh.
Al Jazeera misalnya, saluran televisi Qatar itu harus merumahkan 500 karyawannya dan menghentikan operasionalnya di Amerika Serikat sejak 2016.
Pengurangan tenaga operasional ini segera menular dan diikuti berbagai perusahaan media besar lainnya. Termasuk Cable News Network (CNN), American Broadcasting Corporation (ABC) dan Columbia Broadcasting System (CBS).
Sekarang, media streaming lah yang makin kukuh sebagai nomor satu dalam hal jumlah penonton juga menjadi incaran para pembelanja iklan.
Dalam buku ini, penulis mencermati disrupsi media yang terjadi di Amerika Serikat. Negara yang menjadi barometer industri media televisi internasional.
BACA JUGA:BBC Bikin Blunder, Sebut Manchester United Sampah