Diterangkan Dwikorita, mengenai pentingnya mencatat dan mengamati gempa. Seperti yang dilakukan oleh Jepang, sudah memonitor gempa sejak 1.137 tahun lalu.
BACA JUGA:Puncak Kemarau Diprediksi Juli-Agustus, BMKG Bagikan Tips Biar Tahan Cuaca Panas Ekstrem
BACA JUGA:INFO BMKG: Cuaca Sumatera Selatan Terkini, 20 Juli 2024
Jepang itu selalu menandai dan mencatat urutan setiap aktivitas gempa dengan sangat baik, teliti, runut, dan sistematis. Jadi karena telah menerapkan sistem itu sejak 1.000-an tahun lalu, sehingga publik Jepang pun tidak mudah melupakan kejadian bencana.
"Terus menggali sejarah gempa dan tsunami untuk menata mitigasi bencana yang akan dilakukan. Semua pihak kompak, baik pejabat negara, ilmuwan, dan publik Jepang, mengamati aktivitas gempa," bebernya.
Diungkapkannya, BMKG belajar dari Jepang. Sehingga menggali sejarah gempa masa lalu. Apalagi masyarakat di Jepang sangat kompak. Tujuannya menggali sejarah adalah untuk mitigasi.
"Adanya sejarah masa lalu, membuat mereka tidak terus panik, khawatir, terus jadi sibuk. Sibuknya itu bukan sibuk bertindak, tapi malah sibuk berdiskusi, berwacana. Sibuk yang kurang efektif dan produktif. Di sana gali sejarah bukan untuk ketakutan, tapi mengevaluasi mitigasinya," terangnya.
BACA JUGA:INFO BMKG: Prakiraan Cuaca Sumsel 19 Juli 2024, Dominan Cerah dan Sebagian Turun Kabut Dini Hari
BACA JUGA:Sumatera Selatan Nikmati Cuaca Cerah Berawan, BMKG: Nihil Peringatan Dini Hari Ini 18 Juli 2024
Masih kata dia, melalui literasi soal gempa dan bencana yang sudah dimiliki sejak ratusan tahun lalu, sehingga warga Jepang tidak lagi menjadi publik yang kagetan ketika mendapat informasi soal bencana.
"Alhamdulilah, di Indonesia, kekompakan itu sudah mulai terbentuk. Terutamanya sejak gempa dan tsunami menghantam wilayah Aceh pada tahun 2004 silam," jelasnya.
Menurut dia, adanya informasi mengenai gempa yang disampaikan BMKG pada tahun 2018 lampau sempat membuat heboh. Hingga pihaknya harus dipanggil oleh pihak Kepolisian.
"Untuk menuju ke tidak (tidak heboh, tidak kagetan, tidak gumunan, tidak gaduh) itu harus melalui tahap kaget dulu. Memang harus melalui fase seperti itu, tapi jangan terlalu lama," ucapnya.
BACA JUGA:Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera Selatan, Ini yang Dilakukan Oleh BMKG Saat Ini
Diceritakan Dwikorita, ia pertama kali dipanggil Polda, mengenai seminar tentang ini. Tahun 2018. Karena masyarakat menjadi kaget, gumun, heboh.