BACA JUGA:Sang Infanteri Terbaik Kaum Muslimin, Pujian dari Rasulullah SAW Untuk Salamah bin Al-Akwa
Pada 14 Mei 1817, Pattimura mulai menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Maluku, ia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lainnya serta rakyat Maluku.
Perjuangannya ini menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan, termasuk dalam konteks kebebasan beragama.
Terdapat banyak faktor yang membuat Ahmad Lussy memutuskan untuk memberontak kepada penjajah.
Setelah penandatanganan Traktat Anglo-Belanda pada 13 Agustus 1814, pada tahun 1816 Kepulauan Maluku dikembalikan ke Belanda, pemulangan ini menandai perubahan dalam sistem kolonial.
BACA JUGA: Afrika Selatan Sang Najasyi Baru, Mengingat Kembali Sejarah Raja Adil yang Menolong Kaum Muslimin
Setelah kepulangan Belanda, Pattimura dan rekan-rekan tentaranya diberhentikan dan dikirim kembali ke kampung halaman dan hal ini melanggar isi dari traktat yang telah ditandatangani.
Kembalinya Belanda menimbulkan kekhawatiran akan penindasan yang lebih keras dibandingkan dengan masa pemerintahan Inggris.
Kekhawatiran ini, ditambah dengan ketidakmampuan pejabat yang mengambil alih dari Inggris, menjadi pemicu pemberontakan.
Ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa ketidakpuasan yang menjadi pemicu pemberontakan ini sebagian bersifat agama dan sebagian lagi bersifat ekonomi.
BACA JUGA:7 Batasan Berhias Bagi Muslimah, Tak Hanya Memperindah Diri Tapi Juga Berpahala Disisi Allah SWT
BACA JUGA:4 Kesyirikan yang Tanpa Sadar Sering Diucapkan Muslim, Sederhana Tapi Allah Benci
Pemberontakan ini dapat ditelusuri kembali ke proses Kristenisasi pulau-pulau tersebut dan kelalaian gereja Ambon oleh penguasa Belanda, terutama pada abad ke-18.
Hal ini mempengaruhi posisi para guru sekolah/pastor bersama dengan para regent merupakan pemimpin tertinggi masyarakat adat, banyak pemimpin pemberontakan berasal dari kelompok ini.