Ahmad Lussy terus melakukan perjuangan hingga pada 16 Mei 1817, Pattimura memimpin pemberontakan yang berhasil merebut benteng Duurstede Belanda di Saparua.
Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai Belanda, diserahkan kepada Bangsa Inggris.
Pada 29 Mei, Ahmad Lussy akhirnya dinyatakan sebagai pemimpin rakyat Maluku.
Meskipun akhirnya Pattimura tertangkap dan dihukum gantung oleh pengadilan kolonial Belanda, dia tetap dianggap sebagai simbol perjuangan Maluku dan Indonesia untuk kemerdekaan.
Ada versi sejarah alternatif yang menyebutkan bahwa Pattimura adalah seorang Muslim.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, "Api Sejarah volume 1", Pattimura adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Sahulau.
Ahmad Mansur Suryanegara menulis bahwa Pattimura di Ambon adalah seorang Muslim dan pengubahan nama terjadi karena tujuan deislamisasi yang dilakukan Belanda.
BACA JUGA:Mengenal Makkah Al-Mukarromah, Pusat Peradaban Islam dan Kiblat Umat Muslim
BACA JUGA:Fakta Unik Kota Andalusia dan Peninggalan Peradaban Islam di Spanyol
Deislamisasi sendiri ialah penghapusan nilai-nilai islam baik lewat kebenaran sejarah dan segala aspek agar umat islam tidak mengenal jati dirinya lewat sejarah.
Perlawanan terhadap Belanda dimulai pada tahun 1817, dimana Pattimura berhasil merebut benteng Belanda di Saparua.
Pasukan yang dipimpin Ahmad Lussy mampu melumpuhkan semua tentara Belanda yang ada di benteng tersebut, perlawanan ini berlangsung selama 3 bulan.
Pattimura dianggap sebagai simbol perjuangan Maluku dan Indonesia untuk kemerdekaan⁴. Dia dipuji oleh Presiden Sukarno dan dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Suharto⁴.
Peran Pattimura dalam sejarah Islam, khususnya di Maluku, dapat dilihat dari perjuangannya melawan penindasan kolonial.