SUMEKS.CO - Milisi Houthi di Yaman, konsisten mendukung Palestina yang memasuki konflik tak berkesudahan Israel versus Hamas di jalur Gaza.
Bentuk dukungan tersebut dilakukan melalui serangkaian blokade dan penangkapan kapal-kapal di jalur Laut Merah, bahkan Houthi menembakkan drone dan rudal ke Israel.
Amerika Serikat (AS) ketar ketir dengan statement tersebut, pasalnya rute Laut Merah sendiri menciptakan rute pelayaran terpendek antara Eropa dan Asia, dikhawatirkan bisa menghambat perekonomian global.
Faktanya, Houthi bukan hanya menggretak, sejumlah kapal yang melewati jalur Laut Merah benar-benar mereka tangkap, khususnya kapal-kapal yang terkait dengan Israel.
Hingga kini kapal-kapal pengirim besar termasuk Hapag Lloyd, MSC, Maersk, perusahaan minyak BP, dan kelompok kapal tanker minyak Frontline telah mengatakan bahwa mereka akan menghindari rute Laut Merah.-bentuk
Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengecam tindakan Houthi karena bagi mereka itu merupakan suatu bentuk pelanggaran internasional, karenanya mereka memimpin koalisi militernya untuk membombardir Yaman.
AS mensinyalir hal itu dilakukan sebagai balasan atas tindakan milisi Houthi yang menyerang kapal-kapal di Laut Merah.
Serangan Amerika Serikat dan Inggris kepada Yaman terhadap Houthi menarget sejumlah wilayah di Yaman, paling parah di Kota Sanaa.
"Hari ini, atas arahan saya, pasukan militer AS, bersama dengan Inggris dan dengan dukungan dari Australia, Bahrain, Kanada dan Belanda, berhasil melakukan serangan terhadap sejumlah sasaran di Yaman yang digunakan oleh pemberontak Houthi untuk membahayakan kebebasan navigasi di salah satu saluran air paling penting di dunia," ujar Presiden AS Joe Biden dimuat New York Times dan AFP.
Milisi Houthi melakukan serangan balik dengan menggempur kapal perang Amerika Serikat dan Inggris di Laut Merah usai dua negara sekutu Israel itu menyerbu Yaman pada Jumat (12/1) dini hari waktu setempat.
Anggota senior Houthi Abdul Salam Jahaf mengatakan serangan udara tersebut merupakan bentuk balasan untuk AS dan Inggris.
Hal ini mengundang sejumlah respon dan reaksi. Terbaru, Rusia mendesak agar digelar sidang darurat Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).