Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lian mengenai pelanggaran dan garis demarkasi Van Mook yang tidak diterima pihak Indonesia karena membuat wilayah RI semakin berkurang .
Pada waktu yang berdekatan, Indonesia harus menghadapi pemberontakan PKI Madiun yang puncaknya tanggal 18 September 1948.
Belanda mempergunakan pemberontakan PKI sebagai alasan untuk menyerang Indonesia dengan dalih membantu melawan Komunisme.
Sebelum Belanda mengambil keputusan, pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh pasukan-pasukan Siliwangi tanpa bantan siapapun.
Tidak berselang lama setelah penumpasan pemberontakan PKI Madiun, Belanda melancarkan Agresi Militer kedua yang terjadi tanggal 19 Desember 1948.
Pertama kali melakukan penyerangan di Yogyakarta dengan mengebom Lapangan Terbang Maguwo dan daerah sekitarnya.
Reaksi Indonesia adalah dengan membentuk segera PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Sumatera yang diketuai oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara,.
Tujuannya agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan RI, karena pemimpin-pemimpin RI ditawan dan diasingkan oleh Belanda.
Para pemimpin RI ditawan dan diasingkan oleh Belanda di dua daerah yang berbeda yaitu Berastagi dan Parapat (Sumatera Utara) dan Muntok (Pulau Bangka).
Pengasingan pemimpin-pemimpin Indonesia di Pulau Bangka merupakan suatu peristiwa sejarah kemerdekaan yang terjadi di Pulau Bangka.
Pada tanggal 22 Desember 1949 pemimpin-pemimpin Indonesia diasingkan di Muntok (Pulau Bangka), diantaranya: Drs. Moh.Hatta, Komodor Suryadarma, Mr.Asaat dan Mr. AG Priggodigdo.
Para pemimpin bangsa tersebut tiba di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkal pinang (sekarang Bandara Depati Amir) dibawa ke Pesanggrahan Menumbing yang terletak di puncak Bukit Menumbing.
Sedangkan Ir.Soekarno, H.Agus Salim dan Sutan Syahrir dibawa ke Berasatagi dan Parapat yang berada di Sumatera Utara, tetapi dipersatukan kembali ke Muntok.
Ini terjadi pada tanggal 6 Februari 1949 dan ditempatkan di Pesanggrahan BTW Muntok/Wisma Ranggam.
Serangan mendadak yang dilakukan oleh Belanda untuk merebut Ibukota Indonesia terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Serangan ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.
Adanya keterkaitan peristiwa tersebut dengan strategi Belanda mengasingkan para pemimpin Indonesia.