Di sisi lain dia tampak alim tetapi di sudut yang lain dia tidak peduli suaminya dapat uang dari mana, dan anomali ini akan semakin berada di titik nadir, jika keinginan untuk “show” menunjukkan kemewahan dan kepemilikan itu ke ruang publik, baik itu panggung “off-air” maupun “on-air”.
Off-air hanya sebatas nafsu ingin keluar rumah untuk “hanging-out” dan On-air minimal mengunggahnya ke media social. Anomali karena saya berkeyakinan masyarakat Indoensia itu adalah masyarakat relijius.
Namun karena kuatnya nafsu untuk menjadi “selebriti” dan “hedonis” ini , sadar atau tidak, kaum wanita yang hobi show tadi masuk ke sebuah perkumpulan termasuk yang beratribut agama, dengan tidak merubah prilaku.
BACA JUGA:WAHAI Pecinta SUZUKI Jimny Bersiapklah! Sinyal Jimny 5 Pintu Segera Mengaspal Makin Kuat
Perkumpulan itu juga dijadikan panggung untuk mempertontonkan kepemilian sebagai kaum “hedon”.
Timbul sebuah kegamangan intelektual, kegamangan rasa dan kegamangan prilaku, yang mungkin sulit dirumuskan oleh para peneiliti ilmu sosial, karena selalu tidak simteris.
Kita berasumsi bahwa kaum hedonis baru dalam berbagai level dan strata sosial memiliki kepemilikan diperoleh dengan cara yang wajar, alias bukan hasil korupsi dan kejahatan lainnya.
Masalahnya untuk ukuran sebuah sistem sosial apalagi di Indonesia yang ketimpangannya cukup tinggi, ini keluar dari garis kepantasan dan kepatutan.
BACA JUGA:WAHAI Pecinta SUZUKI Jimny Bersiapklah! Sinyal Jimny 5 Pintu Segera Mengaspal Makin Kuat
Masalahnya ditengah alam demokrasi saat ini, tidak ada cara efektif untuk membangun kesadaran ini, apalagi panggungnya memang tersedia dan terbuka.
Yang dibutuhkan saat ini apakah prilaku ini akan distop sebatas himbauan apara ulama, atau bisa jadi dituangkan dalam bentuk peraturan, yang berarti tugasnya para politisi untuk merumuskannya dalam peraturan yang muaranya untuk mencegah social disorder.
Ketika tulisan ini dibuat kasus Mario dandy masih dalam persidangan, tetapai efek domino dari kasus ini melebar sedemikian rupa sebut saja orang tua Mario sendiri.
Tak sebatas itu ada sejumlah pejabat yang mungkin kurang peka terhadap sensitivitas social ikut kena getahnya.
Sebut saja Kadinkes Lampung Reihana, Pejabat Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono, dan mungkin masih banyak lagi.(*)