Merawat Pesan Puyang di Semende dalam Film Dokumenter Mother Earth dan Pameran Foto Badah Puyang

Merawat Ingatan dan Pesan Puyang di Semende dalam Film Dokumenter “Mother Earth” dan Pameran Foto “Badah Puyang”--
SUMEKS.CO - Suara tadut (salah satu sastra tutur masyarakat Semende bergaung di Gedung Auditorium, Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang, pada Senin 15 September 2025 lalu. Ini merupakan pembuka film dokumenter berjudul “Mother Earth” yang digarap oleh Ghompok Kolektif, yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Dana Indonesiana, dan LPDP.
Tidak sedikit penonton yang menarik napas dalam dan terdiam dari awal hingga akhir film tersebut. Sementara sejumlah masyarakat Semende yang dihadirkan, menujukkan bola mata yang berkaca-kaca.
“Kalau mendengar tadut ini, rasanya kami orang Semende ni, langsung teringat dengan puyang-puyang kami dulu,” kata Eliana (46), saat menyaksikan film berdurasi sekitar 60 menit yang terbagi dalam tiga season tersebut.
Eliana adalah sosok Tunggu Tubang yang dihadirkan oleh Ghompok Kolektif sebagai narasumber dalam acara diskusi, pasca pemutaran film “Mother Earth”. Meskipun Tunggu Tubang generasi baru, ia teguh dan berkomitmen untuk menjaga adat Semende.
BACA JUGA:Agenda Agustusan: Gelar Festival Kesenian Islam 2025 Promosikan Seni dan Budaya Palembang
BACA JUGA:Nama-nama 15 Finalis Duta Budaya Palembang Cek Bagus dan Cek Ayu 2025
“Setelah menonton film ini, kami orang Semende semakin yakin untuk terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai yang ada pada Tunggu Tubang ini. Dan kami berjanji, Tunggu Tubang Tak Akan Pernah Tumbang, selamanya,” kata Eliana.
Tunggu Tubang adalah bagian penting dari sistem adat masyarakat Suku Semende yang tersebar di sepanjang Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Sistem adat ini memberi kuasa kepada anak perempuan untuk mengelola pusaka keluarga yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni rumah, sawah atau kebun, dan tebat (danau buatan).
Selain itu, ada juga sosok meraje -- anak laki-laki - yang bertugas mengasuh dan membimbing anak belai (calon tunggu tubang0, serta membina dan membimbing Tunggu Tubang.
Meraje juga bertugas mengawasi tunggu tubang, atau bahkan dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran atau pengabaian adat istiadat oleh Tunggu Tubang.
“Kalau ada Tunggu Tubang yang menjual sawahnya, bisa dimarahi meraje, atau lebih buruk lagi akan mendapat bala’, entah itu sakit, atau bahkan gila. Karma ini masih ada sampai dengan sekarang,” kata Eliana.
BACA JUGA:Trilogi Budaya Palembang: Wisata Sejarah yang Wajib Dikunjungi
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: