Malapetaka Itu Bernama 'Omnibus Law'

Malapetaka Itu Bernama "Omnibus Law"--
Oleh DR Tarsidi (Praktisi Perburuhan)
KAMIS pagi ini tanggal 1 Mei 2025 betapa hati ini merasa tergugah teringat ketika masa awal ikut menjadi bagian dari para pejuang buruh dipabrik di wilayah Bekasi dan sekitarnya sudah 21 tahun berada di dalam circle dunia perburuhan.
Ya, hari ini adalah hari bersejarah bagi perjuangan kaum buruh sejak tahun 1889 tanggal 1 Mei mulai diformilkan menjadi hari Buruh Internasional, menjadi trigger kaum buruh untuk berjuang menuntut hak-haknya.
Ini bukan soal sekedar peringatan belaka tapi lebih dari itu, hari buruh merupakan pemantik kaum buruh untuk menjaga konsistensi perjuangan, tegak lurus memperjuangkan kepentingan kaum buruh, pandangan fokus kedepan membuka jalan perjuangan yang penuh onak dan duri untuk tercapainya cita-cita menjadi buruh yang sejahtera lahir dan batin, sehat jiwanya, bugar raganya bahagia keluarganya.
Hari ini kita merasakan untuk mewujudkan cita-cita buruh yang sejahtera, butuh effort dan energi yang lebih besar lagi bagi para aktivis dan pejuang buruh, ketika tahun 2012 issu buruh untuk menghilangkan sistem kerja kerja alih daya / outsourcing menjadi issu sentral dan selanjutnya menjadi agenda utama perjungan saat itu.
Semua buruh turun ke jalan melawan maraknya sistem kerja alih daya makin marak diterapkan diperusahaan-perusahaan karena lemahnya regulasi dan lemahnya pengawasan, pada akhirnya perjuangan itu dinilai berhasil.
Dan dari hasil perjuangan itu berapa puluh ribu buruh outsourcing terselamatkan banyak buruh OS berubah statusnya setidak-tidaknya menjadi PKWT dan tidak sedikit pula yang berubah menjadi karyawan tetap (PKWTT).
Dan akhirnya pihak pemerintah merespon dengan menerbitkan Permenaker No. 19 tahun 2012, untuk membatasi penerapan sistem kerja alih daya atau outsourcing diperusahaan.
Namun hari ini hasil perjuangan para kaum buruh itu sirna dilahap oleh kerakusan dan ketamakan kekuasaan, disaat buruh mengagendakan cita perjuangan selanjutnya ternyata badai itu datang menerpa kaum buruh.
Sumber malapetaka bagi kaum buruh yaitu “Badai Omnibus law” disahkan Undang-undang Cipta Kerja tahun 2020.
Hal ini menjadi titik balik yang menyakitkan bagi kaum buruh alih-alih bertambahnya investor yang masuk di Indonesia malah memangkas dan mereduksi hak-hak buruh yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun.
Nilai pesangon yang dipangkas dari 32,2 bulan kali upah menjadi 25 bulan kali upah termasuk bagi buruh yang putus hubungan kerja karena alasan pensiun yang notabene tidak melanggar peraturan pun terkena imbasnya apatah lagi buruh yang ter PHK karena adanya kesalahan tentu semakin kecil nilai pesangonnya.
Nilai pesangon yang besar bukan berarti buruh senang jika di PHK, justru tujuan filosofisnya dengan nilai pesangon yang tidak terlalu kecil, oknum perusahaan tidak terlalu mudah untuk mem-PHK buruhnya.
Berikutnya adanya Penghapusan kepastian status hubungan kerja melalui skema kontrak yang makin lama jangka waktunya dari 2 – 3 tahun berubah menjadi 5 tahun tanpa implikasi hukum yang memadai jika ada pelanggaran kontrak hal ini makin jauh dari nilai filosopis sistem kerja kontrak dan juga penerapan sistem kerja outsourcing yang makin diperluas dengan tidak ada pembatasan objek kerjanya, hal ini makin memperparah masa depan generasi para buruh dimasa yang akan datang.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: