Bentrok Pulau Rempang Mahfud MD Salahkan KLHK, Lho?
bentrok antara aparat gabungan dan warga pulau rempang Batam--
SUMEKS.CO - Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa insiden yang terjadi antara aparat gabungan TNI-Polri dengan warga Pulau Rempang, Batam pada Kamis (7/9) bukanlah akibat dari usaha penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pemegang hak.
"Untuk memahami kasus ini, penting diingat bahwa ini bukan masalah penggusuran, melainkan pengosongan lahan yang sah sesuai dengan pemegang haknya," ujar Mahfud
Mahfud menjelaskan bahwa pada tahun 2001-2002, pemerintah telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan berdasarkan hak guna usaha.
Sebelum investor masuk, tanah tersebut tampaknya tidak pernah dikelola atau dikunjungi oleh siapa pun. Kemudian, pada tahun 2004 dan seterusnya, hak atas tanah tersebut diberikan kepada pihak lain untuk ditempati.
Surat Keterangan (SK) yang memberikan hak tersebut telah dikeluarkan pada tahun 2001-2002 dengan sah.
BACA JUGA:Heboh Foto Mesra Plt Bupati Muara Enim dengan Wanita Berhijab, Kadis Kominfo: Itu Fake
Kemudian pada tahun 2022, ketika investor hendak masuk, pemegang hak datang ke sana dan menemukan bahwa tanahnya telah ditempati oleh pihak lain.
Kemudian, setelah pemeriksaan lebih lanjut, terungkap bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, khususnya oleh Kementerian LHK. “Oleh karena itu, tindakan dilakukan sesuai dengan aturan untuk mengosongkan lahan karena investor hendak masuk," kata Mahfud.
"Ikhtisar proses pengosongan lahan ini adalah akar dari kerusuhan saat ini, bukan tentang hak atas tanah itu sendiri, melainkan tentang penggunaan lahan," lanjut Mahfud.
Mahfud juga menekankan bahwa kesalahan KLHK adalah mengeluarkan izin penggunaan lahan kepada pihak yang tidak berhak.
Menurut Mahfud, pihak warga dan pemegang hak perlu duduk bersama dan berdiskusi mengenai berbagai aspek, termasuk solusi yang dapat ditemukan.
BACA JUGA:Polda Sumsel Beberkan Motif Pelaku yang Tewaskan Adik Kandung Bupati Muratara, Dijerat Hukuman Mati
"Yang perlu dilakukan sekarang adalah berbicara tentang kerelaan, mungkin kompensasi, bukan penggantian, karena mereka memang tidak memiliki hak. Ini tentang kerelaan dan bagaimana melakukan pemindahan dan relokasi. Itu yang perlu didiskusikan bersama oleh pemegang hak, investor, dan masyarakat setempat. Menurut saya, ini adalah solusi yang lebih baik," jelasnya.
Bentrokan antara aparat dan warga di Rempang Galang, Batam terjadi pada Kamis (7/9) ketika warga membuat barikade untuk menolak relokasi.
Bentrokan tidak dapat dihindari ketika polisi berusaha untuk menerobos barikade warga. Aparat membawa water canon dan gas air mata untuk membubarkan massa, sementara massa mencoba melawan dengan melempari aparat menggunakan batu.
Sebelum insiden tersebut, Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana untuk melakukan pengukuran dan pemetaan lahan yang akan digunakan untuk proyek pengembangan Rempang Eco City.
Ribuan rumah warga yang terdampak proyek tersebut direncanakan akan direlokasi ke lokasi baru di Sijantung. Meskipun demikian, warga setempat menentang rencana tersebut.
BACA JUGA:Saat Duduk di Rumah Teman, Kepala Pria Asal Pegayut Ogan Ilir Ditembak, Modusnya Tak Disangka
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan bahwa saat ini sedang dilakukan upaya pembebasan lahan oleh BP Batam sesuai dengan rencana pengembangan tersebut.
Namun, ia juga mencatat bahwa masih ada sekelompok warga yang menolak rencana tersebut dan tetap menguasai lahan tersebut.
Listyo menyebut bahwa berbagai upaya, seperti musyawarah dengan warga setempat, telah dilakukan. BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan kompensasi untuk lahan yang akan dibebaskan.
Namun, ada beberapa masyarakat yang tetap berusaha mempertahankan lahan tempat tinggal mereka. Kondisi ini, menurutnya, mendorong kepolisian untuk bertindak dan melakukan penertiban.
Hingga saat ini, telah ada tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka terkait bentrokan tersebut. Kasi Humas Polresta Barelang AKP Tigor Sidabariba menyebutkan bahwa ketujuh orang tersebut dianggap sebagai provokator saat terjadi bentrokan antara warga dan aparat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: