Bagaimana Media Mengemas Isu Palestina–Israel di Mata Publik Dunia
Dalam konteks ini, media massa memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk persepsi publik, baik melalui pemilihan kata, sudut pandang pemberitaan, maupun penonjolan aspek tertentu dalam konflik.-Dok.Sumeks.co-
Dalam era digital saat ini, media tidak lagi berdiri sebagai institusi tunggal yang memonopoli penyebaran informasi. Media sosial, platform video, dan portal berita online telah memperluas aliran informasi secara masif dan tanpa batas geografis.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat menerima beragam narasi dalam tempo yang sangat cepat. Namun, di balik kelimpahan informasi tersebut, menurut saya tetap ada persoalan mendasar bahwa media tidak pernah benar-benar netral.
Setiap media memiliki kepentingan politik, kepentingan pasar, hubungan kepemilikan, dan orientasi ideologis yang memengaruhi sudut pandang pemberitaan yang disajikan kepada publik.
Bias media dapat muncul secara eksplisit maupun halus, baik melalui pemilihan kata, pemotongan konteks, penggunaan gambar, penekanan isu tertentu, maupun penghilangan informasi yang dianggap tidak menguntungkan bagi pihak tertentu.
Pemberitaan mengenai Palestina–Israel menjadi contoh paling nyata bagaimana media dapat menciptakan perbedaan persepsi publik di berbagai negara.
Media Barat sering kali menempatkan konflik dalam kerangka “hak membela diri”, menekankan legitimasi tindakan militer dan kebutuhan keamanan Israel. Sementara itu, media di kawasan Asia, Timur Tengah, dan Indonesia lebih banyak menekankan aspek kemanusiaan, ketidakadilan struktural, serta penderitaan warga sipil Palestina.
Menurut saya, perbedaan framing ini mencerminkan bahwa media tidak hanya memberitakan fakta, tetapi juga mengarahkan bagaimana fakta itu harus dipahami oleh audiens.Ketika narasi-narasi ini dikonsumsi publik secara terus-menerus, media secara tidak langsung memengaruhi empati, simpati, bahkan sikap politik masyarakat.
Selain perbedaan framing, konsep agenda setting juga penting dalam memahami bagaimana media menentukan isu apa yang dianggap penting dan patut dibahas. Dalam konteks Palestina–Israel, tidak semua peristiwa dilaporkan secara proporsional. Beberapa kejadian ditonjolkan, sementara lainnya diredam atau diabaikan.
Misalnya, peningkatan korban sipil Palestina mungkin mendapat ekspos besar di media tertentu, tetapi minim diberitakan di media yang memiliki orientasi politik berbeda. Menurut saya, praktik seleksi informasi inilah yang membuat opini publik sering kali terbentuk bukan berdasarkan keseluruhan realitas, melainkan realitas yang telah disaring dan dikonstruksi oleh media.
Di Indonesia, isu Palestina memiliki resonansi emosional dan historis yang kuat, sehingga media lokal sering menempatkan pemberitaan dalam kerangka solidaritas kemanusiaan.
Namun, meskipun pemberitaan tersebut terlihat pro-kemanusiaan, tetap saja terdapat dinamika politik internal di baliknya—mulai dari upaya menarik perhatian publik, meningkatkan engagement, hingga memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan politik domestik. Menurut saya, masyarakat perlu lebih sadar bahwa media sekalipun terlihat “memihak kebenaran”, tetap beroperasi dalam sistem ekonomi-politik yang mempengaruhi cara mereka menyajikan realitas.
Pemberitaan mengenai konflik Palestina–Israel menunjukkan bahwa media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik dunia. Cara media memilih kata, foto, narasi, dan konteks menentukan bagaimana masyarakat memahami siapa yang menjadi korban, siapa yang dianggap agresor, dan bagaimana konflik ini dilihat secara moral maupun politis.
Media tidak pernah benar-benar netral; setiap lembaga memiliki kepentingan, orientasi politik, dan audiens tertentu yang menentukan bagaimana realitas konflik dikonstruksi. Dalam kasus Palestina–Israel, perbedaan framing antara media Barat, Timur Tengah, hingga media sosial sangat mencolok, sehingga menghasilkan perbedaan pandangan yang tajam di masyarakat internasional.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


