Keputusan Muhammadiyah ini juga sejalan dengan temuan dari Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang sama-sama menunjukkan bahwa hilal belum memenuhi kriteria penampakan.
Data Hilal Menurut LF PBNU
LF PBNU dalam pernyataannya menyampaikan bahwa berdasarkan hisab pada 29 Maret 2025, tinggi hilal mar’ie hanya -1° 59′ 16″ di lokasi Gedung PBNU, Jakarta Pusat.
Ini menunjukkan bahwa hilal berada di bawah ufuk, sehingga tidak memenuhi kriteria imkanur rukyah menurut Nahdlatul Ulama.
Ijtimak terjadi pada pukul 17:58:27 WIB, hanya berselang sekitar satu menit dari waktu konjungsi yang dilaporkan Muhammadiyah.
Menariknya, data dari LF PBNU juga menunjukkan bahwa di seluruh Indonesia, hilal berada dalam zona "istihalah al-rukyah", atau mustahil terlihat karena posisinya di bawah ufuk.
Di Merauke, Papua, ketinggian hilal tercatat paling rendah, yakni -3° 24′, sementara yang tertinggi ada di Lhoknga, Aceh, dengan tinggi -0° 59′.
Semua ini tetap menunjukkan bahwa hilal tidak dapat dirukyat secara syar'i maupun ilmiah.
Data BMKG Tegaskan Ketidakwujudan Hilal
Sementara itu, data BMKG memperkuat hasil perhitungan yang sama.
Dalam pernyataan resminya, BMKG mencatat bahwa konjungsi terjadi pada pukul 17:57:38 WIB, dan saat matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia, posisi hilal berada pada ketinggian negatif—artinya, hilal belum wujud.
Pada tanggal 29 Maret 2025, BMKG mencatat ketinggian hilal berkisar antara -3° 29′ di Merauke, Papua, hingga -1° 07′ di Sabang, Aceh.
Lama hilal berada di atas ufuk juga 0 detik di seluruh wilayah Indonesia, karena memang tidak ada hilal yang berada di atas ufuk. Elongasi hilal juga belum memenuhi ambang batas imkan rukyah.
Selain itu, BMKG mengingatkan bahwa dalam observasi hilal, kadang objek lain seperti Venus, Merkurius, atau bintang terang seperti Sirius bisa disangka hilal.