Tetapi apa yang dipikirkan Sapardi soal keihlasan, kesabaran itu membuat saya berpikir, kadang kita harus “rileks” melihat kehidupan yang keras. Sebagai manusia kita selalu merasa bahwa kita dapat mengatur alam.
Yakin rencana akan berjalan sesuai skenario. Lupa bahwa semua sudah ada yang mengaturnya. Silakan buat perencanaan, tetapi apa yang terjadi adalah milikNya.
Tentu tidak pasrah. Tidak diam. Melakukan segala sesuatu yang perlu. Menjalankan tugas-tugas dan kewajiban sebagaimana seharusnya. Mengantisipasi masalah. Bekerja keras, untuk memantaskan diri menerima hasilnya. Apapun yang diberikan.
BACA JUGA:DJI Osmo Action 5 Pro Resmi Diluncurkan, Kamera Action Tangguh dengan Fitur Super Canggih
Saya baik-baik saja. Ada yang menuduh saya koruptor, bahkan melabelnya. Oh iya. Sejak kapan pengadilan memutuskan saya korupsi dan bisa dijuluki koruptor? Saya pun sudah melaporkan ke polisi dua orang yang menyatakan di saluran medsos mereka soal julukan ini.
Saya sudah diperiksa juga banyak saksi-saksi dan tinggal menunggu waktu orang itu ditetapkan sebagai tersangka apabila sudah gelar perkara.
Berita-berita di media massa pun sudah saya laporkan ke Dewan Pers, dan ada belasan media yang diwajibkan memberi hak jawab. Karena mereka ini memuat berita tidak terkonfirmasi, menghakimi, dari orang-orang yang menyebut diri “beretika”.
Saya heran, bikin rilis sepihak kok merasa beretika. Tidak cek dan ricek kok merasa beretika. Tidak tabayun kok merasa benar soal etika. Tetapi saya tidak heran, 10 tahun mengurus etika di organisasi profesi tidak berarti orang tersebut beretika. Sudah bawaan lahir barangkali. Inilah yang disebut mati ketawa cara Rusia.
BACA JUGA:Siaga Hadapi Bakal Bencana Gempa Megathrust, Baiknya Persiapkan 7 Benda Ini Sebelum Menyesal
Ada juga yang “disarankan” Dewan Pers untuk ditindaklanjuti dengan UU lain, artinya pidana pencemaran nama baik. Sedang saya pikirkan juga. Memenjarakan wartawan bagi saya tidak enak. Tetapi kondisi sekarang bisa menuju ke arah sana. Sebab banyak sekali wartawan yang sejak awal menulis dengan niat buruk.
Niat merusak reputasi seseorang. Tidak ada upaya konfirmasi. Mencari kebenaran dua versi, setidaknya. Jadi kalau nanti ada yang masuk bui, itu karena kemauan wartawan itu sendiri, sengaja atau tidak.
Yang saya sayangkan, banyak orang mengaku wartawan, dan mengatakan sudah puluhan tahun menjadi wartawan, tidak mengecek informasi yang diterimanya. Langsung percaya. Bahkan langsung menuduh, menuding, mengecap, melabel.
Apakah karena sejak muda dia menjadi wartawan jadi-jadian? Terus, apa dong arti pendidikan yang tinggi, jabatan yang tinggi di medianya dulu? Atau sudah pikun? Karena ingin mendapat jabatan untuk previlese? Banyak jawabannya. Ada juga yang karena ingin kecipratan uang karena dulu saat menjabat biasa main proyek kegiatan.