Oleh: Abdullah Idi, Profesor Sosiologi/Dosen UIN Raden Fatah Palembang
Konflik intern-umat beragama di tanah air, sebenarnya, sudah terjadi sejak lama. Katakanlah, antara pengikut Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi masyarakat Islam terbesar.
Pengaruh kedua ormas Islam ini begitu luas di masyarakat, kendatipun memiliki masa yang berbeda.
Dakwah bil-lisan dan dakwah bil-hal sebagai ciri khas ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, termasuk di luar negeri.
Antara NU dan Muhammadiyah mempunyai perbedaan spesifik, baik dalam teologi, visi politik, maupun yang perbedaan bersifat umum, terutama adanya perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang selanjutnya berdampak jalannya kedua organisasi keagamaan tersebut kurang berimbang.
Persaingan (kalau bisa dikatakan demikian) antara NU dan Muhammadiyah umumnya berhubungan dengan praktik keagamaan, seperti qunut, bilangan rakat shalat tarawih, perbedaan penetapan awal puasa dan hari raya, dan lainnya.
Akan tetapi, kedua ormas keagamaan ini, dalam banyak hal, memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi. Hal ini tidak terlepas pula dari peran dan kebijakan kedua elit ormas keagamaan ini dan peran pemerintah yang secara umum, dalam banyak hal, mengakomodasi terhadap aspirasi, dan eksistensi kedua ormas ini.
Ormas Islam, NU, dan Muhammadiyah, merupakan dua ormas agama terbesar dan sudah mapan di negeri ini.
Akhir-akhir ini, publik diramaikan dengan pemberitaan di media sosial tentang perebutan oleh kaum salafi terhadap rumah ibadah milik kedua ormas Islam tersebut.
BACA JUGA:TERKINI! Putra Raja Salman Singkirkan Ajaran Wahabi dan Dorong Peradaban Arab Saudi
BACA JUGA:Lagi Santer, Kalangan Wahabi Salafi Banyak Merebut Masjid NU dan Muhammadiyah?
Kalangan Salafi-Wahabi, secara umum, memiliki karakteristik sangat berbeda dengan Muhamadiyah dan NU. Perbedaan karakteristik kaum Salafi-Wahabi dengan ormas yang sudah ‘mapan’ seperti Muhammadiyah dan NU.
Selain isu perebutan rumah ibadah, dinamika Salafi dan Wahabi telah lama menjadi perdebatan, pasalnya, sering dikaitkan dengan maraknya aksi terorisme dan bom bunuh diri diberbagai tempat di tanah air.
Beda halnya dengan kedua ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah, kaum Salafi-Wahabi belum atau memiliki Tingkat ‘resistensi’ yang tinggi dari berbagai kalangan ormas besar keagamaan dan pemerintah, baik formal (tampak) maupun non-formal (tidak tampak), kendatipun langkah pencegahan (oleh pemerintah) dirasakan belum tegas.
Patut diketahui, secara teologi, penting untuk memahami keberadaan tentang Wahabi-Salafi tersebut. Kaum Salafi-Wahabi merupakan sejenis wacana yang absen dari percaturan ilmiah, dengan mengembalikannya ke wacana ‘religius murni’ yang bertumpu pada makna literalisme teks-teks primer agama (Alquran & Hadis), yang bersifat univositas.