Konflik Intern-Beragama: NU & Muhammadiyah terhadap Salafi-Wahabi

Sabtu 25-05-2024,17:20 WIB
Editor : Rahmat

Dalam beberapa hal, Salafi-Wahabi mirip dengan Muhammadiyah. Salafi-Wahabi tidak pakai ushalli, bismillah sirri, tidak pakai Qunut Shubuh, tidak zikir jahr bersama, tidak doa bersama setelah shalat, sehingga mereka (Salafi-Wahabi) lebih mudah masuk masjid Muhammadiyah ketimbang masjid NU.

Kelompok Salafi mem-bid’ah-kan orang yang berbeda pendapat dengan mereka dan memusyrikan orang yang bertawassul. 

BACA JUGA:Awal Ramadan 2024 Beda dengan Muhammadiyah, Menteri Agama Keluarkan Surat Edaran Disertai Imbauan, Ada Apa?

BACA JUGA:Waspada, Khilafatul Muslimin Sama Bahayanya dengan HTI, NII, bahkan ISIS

Salawat Badar dan Salawat Nariyah itu tawassul, bagi kaum Salafi-Wahabi dalam kategori musyrik. Suatu pandangan cenderung ‘resistensi’ terhadap Salafi-Wahabi, disampaikan pula oleh mantan Ketua Umum PB NU, KH. Said Aqil Siroj, yang mengungkapkan jika ingin memberantas terorisme dan radikalisme maka harus memberantas benihnya, dimana Salafi-Wahabi merupakan ‘pintu masuk’—Salafi-Wahabi memang bukan terorisme tetapi, pintu masuknya.

Kalau sudah Wahabi, ini dan itu dianggap  tidak boleh, musyrik, dan kafir, dan pengajarannya hanya satu langkah lagi sudah halal darahnya dan  boleh dibunuh.

Upaya menyikapai fenomena kelompok Salafi-Wahabi, UAS, lebih lanjut,  berpesan kepada umat agar belajar fikih empat mazhab (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali). 

Mendorong Masyarakat dengan fikih empat mazhab, membuat masyarakat (umat Islam) menjadi cerdas, faham banyak mazhab tapi dalam pengamalan tetap dalam Mazhab Syafi’i.  Umat didorong untuk mengaji dan membaca kitab, bisa melafalkan niat, basmallah sirri (lirih/tidak nyaring), qunut, zikir jahr, doa bersama, dan lainnya.  

Konflik intern-umat beragama di tanah air, sebenarnya, sudah terjadi sejak lama. Katakanlah, antara pengikut NU dan Muhammadiyah, sebagai dua organisasi masyarakat Islam terbesar.  Pengaruh kedua ormas Islam ini begitu luas di masyarakat, kendatipun memiliki massa yang berbeda.

Dakwah bil-lisan dan dakwah bil-hal sebagai ciri khas ormas keagamaan ini  sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, termasuk di luar negeri.

Antara NU dan Muhammadiyah mempunyai perbedaan spesifik, baik dalam teologi, visi politik, maupun yang perbedaan bersifat umum, terutama adanya perbedaan sumber daya dan infrastruktur (SDM dan ekonomi) yang selanjutnya berdampak pula terhadap jalannya kedua organisasi keagamaan tersebutterkesan  kurang berimbang (inbalancing). 

Persaingan (kalau bisa dikatakan demikian) antara NU dan Muhammadiyah umumnya berhubungan dengan praktek keagamaan, seperti qunut, bilangan rakat shalat tarawih, perbedaan penetapan awal puasa dan hari raya, dan lainnya.

Akan tetapi, kedua ormas keagamaan ini, dalam banyak hal, secara umum, dapat dikatakan memiliki tingkat toleransi, ukhuwah-islamiah, yang sangat tinggi.

Hal ini agaknya tidak terlepas pula dari peran  dari para elit (ulama, akademisi, tokoh agama dan politik) dan mesti diakui pula karena adanya visi politik pemerintah yang secara umum mengakomodasi  aspirasi dan interes kedua ormas tersebut.

Sehingga, adanya mutual-simbiosis antara NU, Muhammadiyah dan Pemerintah, tentunya berdampak positif terhadap proses toleransi antar dan intern-umat beragama di tanah air.

Beda halnya, masih terjadi ‘penolakan’ baik formal (tampak) maupun nonformal (tidak tampak) terhadap kaum Salafi-Wahabi, seperti kasus penyerobotan rumah ibadah masjid.

Kategori :