SUMEKS.CO - Darah istihadhah ialah darah yang terjadi diluar masa haid dan nifas, namun tetap mewajibkan wanita muslimah untuk melaksanakan ibadah.
Perempuan yang mengalami istihadhah tetap harus melaksanakan ibadah shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Menurut beberapa ulama, darah istihadhah ialah darah yang berasal dari urat yang pecah atau putus dan keluarnya diluar masa haid maupun nifas.
Secara sederhana, istihadhah ialah darah yang berupa penyakit dan tidak berhenti mengalir hingga wanita tersebut sembuh.
BACA JUGA:Kabar Gembira Buat Perempuan! Ternyata Ini Loh Keistimewaan Haid yang Datang Setiap Bulan
Hal ini menyebabkan darah istihadhah kadang tidak pernah berhenti keluar dan berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan.
Darah istihadhah dapat dikenali dengan melihat berdasarkan ciri-cirinya baik dari warna, aroma hingga teksturnya.
Warna darah istihadhah cenderung merah segar sedangkan darah haid umumnya merah gelap atau hitam.
Untuk aromanya sendiri, darah istihadhah berbau anyir selayaknya darah pada umumnya sedangkan darah haid beraroma tidak sedap.
BACA JUGA:Keramas, Menyisir Rambut dan Memotong Kuku Saat Haid Dilarang? Berikut Penjelasannya
Darah istihadhah lebih cair atau lunak, tidak seperti darah haid yang biasanya lebih kental dan sifatnya padat.
Darah istihadhah yang disinyalir sebagai darah penyakit ini merupakan darah yang tidak menentu kapan waktu berakhirnya.
Meski begitu, untuk menentukan darah haid atau istihadhah ialah dengan menghitung siklus haid yang telah berlangsung dan sesuai dengan batas ketentuan haid.
Dalil tetap dianjurkannya melaksanakan ibadah meski dalam keadaan istihadhah diterangkan dalam sebuah hadits.
BACA JUGA:The First Muslimah Nurse, Kisah Sahabat Wanita yang Menjadi Perawat Pertama dalam Sejarah Islam
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menunaikan shalat dan puasa.” Dia berkata, “Aku akan tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena dia akan menutup aliran darahmu” Dia berkata, “Darah tersebut terlalu deras”. Kemudian dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah tersebut tendangan-tendangan syaitan, maka masa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan dia menshahihkannya.
Melihat dari hadits ini perempuan tetap dianjurkan melaksanakan ibadah shalat lima waktu, puasa ramadhan, menyentuh mushaf, bahkan melaksanakan thawaf dan sa’i.
Ketika hendak melaksanakan shalat, seorang perempuan yang mengalami istihadhah dianjurkan untuk membersihkan apa saja yang berkaitan dengan darah tersebut.
Kemudian perempuan memakai kapas atau pembalut yang baru dan bersih untuk menahan keluarnya darah selama shalat.
BACA JUGA:Jangan Nikahi dan Jauhi Wanita yang Punya 7 Sifat Berikut, Rumah Tangga Bisa Tidak Harmonis
Kemudian perempuan tersebut berwudhu dan melaksanakan shalat lima waktu seperti biasanya.
Mengganti dengan kapas atau pembalut bersih ini hendaknya dilakukan setiap hendak shalat untuk menjaga kesucian saat shalat.
Perempuan yang sedang mengalami istihadhah menurut para ulama juga diperbolehkan melakukan hubungan badan dengan suaminya.
Hal ini dikarenakan darah istihadhah berbeda dengan hukum haid dan nifas, darah istihadhah tidak membuat seorang suami dilarang menyetubuhi istrinya.
BACA JUGA:Khadijah Binti Khuwailid, Wanita Teragung Sejagat Raya yang Mendapat Salam dari Allah SWT
Hal ini diterangkan dalam QS. Al- Baqarah ayat 222, Allah ta’ala berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita haidh dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Perempuan yang mengalami istihadhah juga digolongkan kepada empat golongan yaitu :
1. Mutadi’ah Mumayyizah, golongan yang baru pertama kali mengalami haidh, tetapi sudah pandai membedakan antara darah haidh dan istihadhah.
2. Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah, ialah golongan yang baru pertama keluar darah dari rahimnya atau baru saja mengalami haid, tetapi tidak pandai membedakan darah haid dengan istihadhah.
3. Mu’tadah Mumayyizah ialah golongan yang sudah pernah mengalami haid, kemudian bersuci, dan mengetahui kadar haid yang keluar dan jumlah hari suci.
4. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah ialah golongan terakhir yaitu perempuan yang sudah mengalami haid tetapi tidak mampu membedakan antara darah haid dengan istihadhah.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai masa berlangsungnya darah istihadhah ini menurut empat imam mahdzab.
Menurut mahdzab syafi’i sebagai mahdzab yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia.
Menetapkan bahwa pembeda antara darah haid dengan darah istihadhah sebagai acuan jika perempuan perempuan memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakannya.
Namun jika tidak mampu membedakan makan kebiasaan dari haidnya dijadikan sebagai pedoman.
Kemudian menurut imam Maliki menentukan bahwa masa awal istihadhah harus berdasarkan kepada perbedaan darah bukan kebiasaan haid.
Hal ini berlaku bagi perempuan yang memahami perbedaan antara keduanya, namun jika tidak maka masa haid dianggap tidak terjadi dan tetap menjalankan shalat.
Mahdzab Hanafi sendiri menjelaskan bahwa perempuan dengan masa haid yang teratur harus mengikuti kebiasaan haid untuk menentukan masa awal istihadhah.
Yang terakhir ialah madzhab Hambali yang menjelaskan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan haid dan mampu membedakan jenis keduanya.
Mahdzab hambali memiliki dua pendapat yaitu menjadikan masa haid tersingkat sebagai pedoman atau menjadikan kebiasaan haid perempuan lain sebagai pedoman.(*)