Etika Terhadap Alam Lingkungan Wujud Keimanan Manusia

Senin 02-10-2023,09:32 WIB
Reporter : Dr. Syefriyeni, M.Ag
Editor : Rahmat

 Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). QS. Ar-Rum (30), ayat 41.

Manusia yang hanya berpikir pendek, untuk keuntungan sesaat, tanpa memikirkan tentang; keberlanjutan makhluk hidup, baik manusia dan makhluk hidup lainnya, adalah manusia-manusia yang telah berperilaku abai terhadap alam.

Mereka merasa telah mengambil keuntungan yang banyak dari alam, padahal mereka justru mengambil keuntungan sesaat dengan merusak alam, dan justru akan memperpendek kebermanfaatan alam itu sendiri bagi dirinya.

Manusia-manusia yang berperilaku buruk terhadap alam lingkungan, adalah manusia-manusia yang memandang bahwa alam adalah ‘budaknya’, dan ia adalah ‘tuannya’.

Manusia-manusia yang mengeksploitasi alam, adalah manusia yang melihat relasi dirinya dengan alam seperti relasi tuan dengan budak. Tuan yang dapat berbuat apa saja terhadap budaknya, seperti manusia yang dapat berbuat apa saja kepada alam.

Secara kasat mata, awalnya memang manusia yang terlihat berkuasa, dari relasi itu. Namun, siapa sangka akhirnya, dampak kekuasaan yang berlebihan terhadap alam, akan mendatangkan kemudaratan yang berbalik kepada diri manusia itu sendiri.

Misalnya kabut asap, datang dari perilaku buruk, baik yang disengaja ataupun tak sengaja, pembakaran dan seterusnya, berbalik merugikan manusia itu sendiri, akan berdampak, penyakit mata, tenggorokan, batuk, dan asma, serta penyakit yang terkait dengan pernapasan lainnya.

Jika ini tak terkendali, maka suatu saat akan kita saksikan manusia-manusia yang keluar rumah dengan berjalan menggantungkan tabung oksigen kecil di pundaknya untuk pernafasannya, karena di luar rumah, udara yang mengandung zat untuk keberlanjutan hidup manusia sudah terganggu, dan menjadi udara yang sakit, udara yang tercemar.

Inilah manusia-manusia yang disindir pada ayat diatas. Mereka telah membuat kerusakan di muka bumi, yang berdampak kembali kepadanya, sebagaimana hukum sebab-akibat, hukum sunnatullah.

BACA JUGA:Prediksi Terbaru BRIN, Cuaca Panas Mendidih Karena Fenomena El Nino Baru akan 'Menjinak' Hingga 2024?

Padahal manusia dengan daya akal dan daya nalarnya, sesungguhnya sudah diberikan amanah oleh Allah untuk memelihara alam, dengan mengacu kepada sikap laku mushlih, yakni untuk pemelihara alam, memperindah alam.

Kenapa manusia diamanahi sebagai pemelihara alam, karena daya akalnya, sehingga ia diberi amanah. Ini tentu daya akal yang lurus, yang tidak diboncengi oleh hawa nafsu.

Adapun akal yang pendek dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri, mengeduk alam berlebihan, adalah tidak termasuk kategori manusia yang mushlih (pemelihara, pemerindah alam). Manusia mushlih itu adalah manusia yang berakhlak santun kepada alam, yakni memelihara alam. Memelihara alam demi keberlanjutan makhluk hidup dan keberlangsuangan makhluk hidup seterusnya. 

Mushlih, adalah sifat manusia yang dijelaskan dalam al-Qur’an (terkait ayat diatas), adalah manusia yang berkesadaran alam lingkungan.

Mereka sebagai perpanjangan “tangan” Allah untuk menjaga dan memelihara, memperindah bumi ini. Buya Hamka, mengatakan bahwa tatkala manusia memiliki sikap mushlih akan melahirkan perilaku memelihara dan menjaga alam, adalah tergolong manusia yang berkesadaran akan Tuhan.

Jadi menyadari bahwa alam mesti dipelihara, termasuk bagian dari jati diri seorang mukmin yang berkesadaran tentang Tuhan. Sebaliknya jika manusia yang perusak alam, tentu ia tergolong yang belum berkesadaran kepada Tuhannya.

Kategori :