Saat ini anthrax tengah mewabah di Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul Yogyakarta. Awal mulanya, tiga ekor sapi milik warga desa itu mati mendadak. Sapi-sapi malang itu kemudian malah disembelih.
Dagingnya dibagi dalam paket-paket kecil, yang kemudian dijual seharga Rp 45 ribu ke warga desa. Seekor sapi yang telah dikubur pun, digali lagi. Disembelih, dan dagingnya dibagi-bagi ke tetangga.
Belakangan, diketahui jika penyebab kematian hewan herbivora di desa itu adalah terjangkit anthrax. Satu minggu kemudian, pemilik sapi, seorang kakek 73 tahun, meninggal dunia di RS Sardjito Yogyakarta. Ada bintil hitam di tubuhnya. Positif anthrax.
Kementerian Kesehatan melansir ada tiga warga yang meninggal dunia. Dan sebanyak 95 warga desa itu positif mengidap anthrax. Anthrax sendiri bisa menular ke manusia melalui tiga jalan. Melalui kulit, saluran pencernaan, dan pernafasan. Namun infeksi melalui pernafasan adalah yang paling mematikan.
Sebuah tradisi bernama mbrandu ditengarai menjadi sarana penyebaran penyakit antraks di wilayah itu. Mbrandu adalah sebuah tradisi masyarakat, di mana warga membeli ternak yang mati milik tetangga di desanya.
Tradisi ini berasaskan gotong royong. Warga desa bermaksud menolong tetangga yang sapinya mati, supaya tidak terlalu rugi.
Namun anthrax bukanlah penyakit main-main. Jika sudah berjangkit di suatu daerah, anthrax tidak bisa dimusnahkan. Hanya bisa dikendalikan. Hal itu karena spora yang dihasilkan bakteri penyebab anthrax mampu hidup di tanah dan permukaan lainnya puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.
Meskipun sudah berjangkit untuk kelima kalinya di Gunung Kidul, Yogya, hingga kini daerah itu belum juga dinyatakan sebagai kejadian luar biasa.
Namun spora bakteri itu tahan panas, tahan dingin, bahkan kebal dengan desinfektan. Dan mematikan. Karena itulah, bercanda dengan anthrax sama dengan bercanda dengan maut. (*)