Maka PNS tersebut telah melakukan iuran sebesar 4,75 persen x Rp 4 juta x 36 tahun x 12 bulan, yaitu sebesar Rp 82 juta.
Lalu, kita asumsikan PNS tadi pensiun usia 58 tahun, lalu meninggal dunia pada usia 70 tahun (12 tahun kemudian).
Artinya, selama 12 tahun tersebut, PNS yang bersangkutan menerima pembayaran uang pensiun sejumlah Rp 3,75 juta x 12 tahun x 12 bulan, sama dengan Rp 540 juta.
Perhitungan ini belum ditambahkan dengan pembayaran untuk janda/dudanya. Artinya, dari Rp 540 juta yang dibayarkan kepada pensiunan tersebut, hanya Rp 75 juta yang merupakan iuran dia sendiri, sedangkan sisanya sebesar Rp 465 juta ditanggung oleh APBN.
Nah, dapat dibayangkan sampai berapa lama pemerintah harus menanggung beban pembayaran pensiun PNS ini, hingga ke janda/duda PNS tersebut meninggal dunia dikalikan dengan ribuan PNS yang ada saat ini.
Sebuah rentang waktu yang tidak pasti, bukan? Maka dalam perspektif inilah, maka skema pay as you go yang saat ini berlaku sesuai UU Nomor 11 Tahun 1969 tersebut dianggap akan terus membebani APBN.
Pensiun bisa bawa pulang Rp 1 miliar. Skemanya pakai logika sederhana. Perhitungannya tidak hanya dari gaji pokok. Tapi juga tunjangan dihitung.
Baca sampai habis. Pasti akan jelas.
Dengan skema baru yang diusulkan itu atau fully funded, iuran dana pensiun akan diperhitungkan persentasenya dari total penghasilan pegawai. Yaitu gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan. Skema perhitungannya masuk akal.
Wacana ini tentu menjadi semacam bola panas, bahkan cenderung dipolitisasi oleh sebagian pihak.