Pembahasan lain tentang wartawan di UU No 40 tentang Pers ada di Pasal 7, wartawan bebas memilih organisasi wartawan; wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik lalu di Pasal 8, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Kalaupun ada terkait barangkali di Pasal 15 tentang Dewan Pers. Di ayat (2) huruf f dikatakan, salah satu fungsi Dewan Pers adalah (f) memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Dari butir f ini misalnya Dewan Pers sudah mengeluarkan Standar Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Standar Organisasi Wartawan, yang di dalamnya juga terkait dengan kesejahteraan yakni perusahaan pers wajib memberikan gaji minimal setara UMP sebesar 13 kali dalam satu tahun. Tapi faktanya ada banyak sekali perusahaan pers yang menggaji wartawan di bawah UMP, dan kondisi ini disikapi dengan pasif, kecuali apabila ada pengaduan ke Dewan Pers, status terverifikasi perusahaannya bisa dicabut. *
Dari catatan di atas maka sebenarnya kalau ingin tunjangan sertifikasi wartawan dapat terwujud cara paling ampuh adalah mengamandemen UU No 40 tentang Pers, yang pada umumnya ditolak hampir seluruh masyarakat pers karena menilai parlemen saat ini cenderung represif terhadap pers. Tidak ada jaminan pasal yang dibahas hanya soal tunjangan sertifikat, anggaran pemerintah untuk Dewan Pers, ataupun yang positif. Bisa-bisa nanti untuk menerbitkan perusahaan pers perlu ada izin, untuk menjadi wartawan harus begini-begitu. Kalaupun masuk dalam prolegnas, tidak ada jaminan akan dibahas dalam waktu singkat, karena perlu melobi pemerintah dan parpol-parpol besar, yang tidak mudah.
Jalan kedua, tentu saja melalui Bappenas. Sebagaimana diketahui, pembiayaan untuk pelatihan dan pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dalam 3 tahun terakhir dapat terlaksana karena dimasukkan dalam program prioritas pemerintah oleh Bappenas yang disetujui Kementerian Kominfo. Anggarannya mencapai tidak kurang dari Rp 10 milyar pertahun, atau secara keseluruhan dari tahun 2020, 2021, dan 2022, sekitar Rp35 miliar, untuk pelatihan dan uji kompetensi wartawan bagi sekitar 5.000 wartawan.
Kalau saja masalah Tunjangan Sertifikat Kompetensi Wartawan ini dianggap sebagai penting dan dijadikan program prioritas, bisa saja Bappenas membahasnya bersama Dewan Pers lalu mencarikan dananya melalui Kementerian Kominfo. Tetapi tentu saja Dewan Pers harus bertemu dengan seluruh konstituen dan masyarakat pers, untuk mendiskusikan secara mendalam, dengan berbagai sudut pandang agar keputusanya mantap: mencederai kemerdekaan pers atau memang ada manfaatnya bagi wartawan sebagai tulang punggung perusahaan pers. Bisa juga dimulai dengan survei kepada anggota organisasi wartawan, agar dapat memetakan suara hati mereka.
Dasar keputusannya haruslah kesejahteraan wartawan agar mereka dapat bekerja sebagai pelayan publik yang kompeten, taat pada Kode Etik Jurnalistik, membuat karya sesuai standar jurnalistik, yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya. Yang pasti, wartawan harus selalu independen, apakah dia mendapat tunjangan profesi ataupun tidak.
Kita ini tidak salah sering dianggap munafik. Menolak amplop, menolak pemberian, tetapi mau menerima undangan dengan kelas bisnis, layanan VIP, atau uang saku dolar melebihi standar. Kita tidak mau diberi negara tetapi senang hati meminta ke lembaga asing, kedutaan besar negara asing, dan perusahaan yang rekam jejaknya buruk. Lalu independensinya dimana? Wallahualam bissawab. (*)