Profil dan Rekam Jejak Aldrin Tando, dari Pebisnis Jasa Konstruksi ke Tersangka Korupsi Pasar Cinde

Profil dan Rekam Jejak Aldrin Tando, dari Pebisnis Jasa Konstruksi ke Tersangka Korupsi Pasar Cinde

Profil dan Rekam Jejak Aldrin Tando, Dari Pebisnis Jasa Konstruksi ke Tersangka Korupsi Pasar Cinde--

PALEMBANG, SUMEKS.CO - Nama Aldrin Tando, seorang pengusaha yang cukup dikenal di kalangan pebisnis properti dan jasa konstruksi, kini tengah menjadi sorotan tajam publik.

Direktur PT Magna Beatum ini resmi ditetapkan sebagai salah satu dari empat tersangka dalam skandal dugaan korupsi proyek revitalisasi Pasar Cinde Palembang, yang kerugian negaranya ditaksir mencapai hampir Rp1 triliun.

Penetapan status tersangka terhadap Aldrin diumumkan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan pada 2 Juli 2025.

Ia diduga memiliki peran penting dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek revitalisasi Pasar Cinde, sebuah pasar ikonik di pusat Kota Palembang yang hendak diubah menjadi kawasan perdagangan modern.

BACA JUGA:Raimar Yousnaidi Resmi Jadi Tersangka Korupsi Proyek Revitalisasi Pasar Cinde Palembang

BACA JUGA:TERUNGKAP! Bos Properti Ternama Palembang Diperiksa Terkait Skandal Korupsi Pasar Cinde

Namun, alih-alih membawa kemajuan, proyek ini justru menyeret sejumlah nama besar ke dalam jeratan hukum.

Berikut profil singkat hingga rekam jejak tersangka Aldrin Tando, yang dirangkum dari berbagai sumber Rabu 2 Juli 2025.


Drama Baru Skandal Korupsi Pasar Cinde Terbongkar, Kompensasi Rp17 Miliar Buat Ganti Tersangka--

- Dikenal di Dunia Properti dan Konstruksi

Sebelum kasus ini mencuat, Aldrin Tando dikenal sebagai sosok yang aktif dalam dunia bisnis, khususnya di sektor pengembangan kawasan komersial dan revitalisasi pasar tradisional.

Melalui bendera PT Magna Beatum, Aldrin beberapa kali disebut menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengelola proyek-proyek strategis, seperti modernisasi pasar hingga pembangunan mix-used development yang mencakup pusat perbelanjaan, kios UMKM, perkantoran, dan area parkir.

Di berbagai wilayah, perusahaan miliknya kerap menawarkan konsep pembangunan yang modern dengan skema kerja sama pemanfaatan aset negara atau model build-operate-transfer (BOT).

Tak jarang, proyek-proyek ini menuai kontroversi karena perubahan fungsi lahan publik menjadi kawasan komersial, yang dianggap mengesampingkan kepentingan masyarakat kecil.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait