Dari Syair ke Swipe: Simbur Cahaya, Etika Leluhur, dan Komunikasi Kontemporer

Kampung Kapitan di tepian Sungai Musi atau di Jalan KH. Azhari Kelurahan 7 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang--
Selama ratusan tahun kitab ini menjadi acuan dalam tata krama dan pedoman etika bagi masyarakat Sumatera Selatan.
Begitu juga dengan kitab-kitab klasik khas nusantara lainnya. Misalnya Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci, Jambi, Kitab Tambo Minangkabau di Sumatera Barat, Adat Perpatih dan Adat Tumenggung di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Dan Kitab Undang-Undang Adat Kutai di Kalimantan Barat.
Kitab-kitab inilah yang membentuk karakter khas dan kesopanan bangsa Indonesia yang terkenal sopan dan ramah.
Seperti dituliskan naturalis dan antropolog Inggris Alfred Russel Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago (1869), yang menyatakan terpukau dengan penduduk di wilayah Indonesia yang penuh keramahan, tertib, berbudaya, dan bersahabat dengan orang asing.
BACA JUGA:Pameran Fotografi Mahasiswa Prodi Komunikasi UBD: Mengungkap Cerita Lewat Gambar
BACA JUGA:Prodi Ilmu Komunikasi UBD Sukses Adakan Pameran dan Workshop Fotografi Emozen
Namun, di zaman ketika orang bisa mencaci hanya dengan satu jempol, apa arti sopan santun?
Kita kini hidup di era kebebasan berekspresi yang tak selalu dibarengi etika. Hari ini, sebuah unggahan bisa viral karena komentar pedas, sindiran tajam, atau bahkan fitnah.
Padahal dulu, sopan santun ditulis dalam syair dan dijadikan hukum. Apakah kita sedang mundur? (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: