Dari Syair ke Swipe: Simbur Cahaya, Etika Leluhur, dan Komunikasi Kontemporer

Dari Syair ke Swipe: Simbur Cahaya, Etika Leluhur, dan Komunikasi Kontemporer

Kampung Kapitan di tepian Sungai Musi atau di Jalan KH. Azhari Kelurahan 7 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang--

Ada juga yang berbunyi “Jika seseorang mencuri ikan di kolam orang, bukan hanya salah di mata hukum, tapi juga aib bagi keluarganya".

Simbur Cahaya juga memuat nilai budaya yang menata cara bicara, berpakaian, menjaga martabat perempuan, hingga menghormati wilayah privasi.

Di dalamnya, berbicara sembarangan bisa dianggap melanggar hukum. Termasuk mengolok-olok atau memotong perkataan orang tua atau pemimpin, tidak menjawab sapaan, mencela atau menghina di ruang publik.

Atau bahkan mengintip orang mandi pun ada sanksinya. “Barang siapa lelaki menyimak ke tempat orang perempuan mandi, tak pantas, sangat jahat dan bisa dicaci”. 

Gaya seperti ini menunjukkan norma sosial tentang tata laku tetapi disampaikan secara halus, tidak konfrontatif, dan penuh muatan etika.

Dulu, dalam Simbur Cahaya, seseorang bisa dikenai sanksi karena menyebar kabar angin atau menghina orang di tempat umum. Mengadu domba dua sahabat juga ada sanksinya. Namun sekarang,  seseorang bisa viral karena menyebar gossip atau body shaming di TikTok. 

Dalam Simbur Cahaya, seseorang bisa dikenai sanksi adat karena mempermalukan orang lain di depan umum atau berbicara tidak sopan.

Bayangkan jika prinsip ini diterapkan dalam ruang digital hari ini, mungkin tak sedikit netizen yang harus mengikuti "pengadilan adat" karena komentar tidak pantas di media sosial.

Menariknya, banyak aturan dalam kitab ini justru terasa relevan saat kita melihat fenomena di kolom komentar media sosial hari ini.

Mungkin, sudah saatnya kita membuka kembali Simbur Cahaya, bukan sebagai nostalgia hukum adat, tapi sebagai refleksi bagaimana leluhur mengajarkan kita cara berkomunikasi yang beretika, bahkan sebelum era digital mengenal kata "etiket". Sebelum warga digital mengenal yang dinamakan “netiket”.

Jika Simbur Cahaya berlaku hari ini, mungkin ia akan menjadi semacam “UU Etika Digital”. Yang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan bahwa dalam setiap kata, baik verbal maupun tulisan, ada makna yang bisa menyakiti atau memuliakan.

Mengkritisi

Tanpa Menyakiti

Edward T. Hall (1976) membagi pola komunikasi ke dalam dua kategori: komunikasi berkonteks tinggi (high-context culture) dan berkonteks rendah (low-context culture).

Masyarakat dengan budaya konteks tinggi, seperti masyarakat Melayu, seperti juga masyarakat negara-negara di Asia, cenderung mengandalkan simbol, isyarat nonverbal, dan makna implisit dalam menyampaikan pesan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: