Konflik Intern-Beragama: NU & Muhammadiyah terhadap Salafi-Wahabi

Konflik Intern-Beragama: NU & Muhammadiyah terhadap Salafi-Wahabi

Abdullah Idi (baju putih) Profesor Sosiologi/Dosen UIN Raden Fatah Palembang--

Patut diketahui, secara teologi, penting untuk memahami keberadaan tentang Wahabi-Salafi tersebut. Kaum Salafi-Wahabi merupakan sejenis wacana yang absen dari percaturan ilmiah, dengan mengembalikannya ke wacana ‘religius murni’ yang bertumpu pada makna literalisme teks-teks primer agama (Alquran & Hadis), yang bersifat univositas.

Berteologi dengan berpikir atau penghayatan-intuitif merupakan tindakan kriminal. Yadu-Allah, semisal diartikan bahwa Tuhan memiliki tangan, seperti pendapatnya para salaf al-salih disini sedang ‘dijual’ sebagai alat legitimasinya. 

Para ‘salaf al-salih’ dalam menyikapi ayat-ayat ketuhanan, semisal Yadu-Allah, dengan tanpa menentukan makna, dan menyerahkan maknanya kepada Allah.

Salafi-Wahabi telah menentukan makna literalisnya, dan terperosok ke dalam tajsiem (mempersonifikasi Tuhan yang berjasad). 

Pengakuan Wahabi sebagai mazhab salaf menjadi musykil. Wacana teologi ala Wahabi yang hendak mensakralkan Tuhan, tapi berujung pada desakralisasi Tuhan, bisa jadi membawa pada agnostisisme. 

Muhammad Abduh, sebagai saksi mata, menilai Wahabi merupakan gerakan pembaharuan yang paradoks: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama menciptakan taklid baru yang justru lebih bermasalah. 

Muhammad Abduh dan Wahabi sebetulnya terikat dalam satu mimpi bersama yakni mengembalikan Islam pada masa Islam belum berkotak-kotak dalam beragam sekte yang dinamakan ‘neo-Salafisme’. Tapi keduanya memilih jalan yang berbeda, dimana Abduh melalui jalan rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi memilih jalan literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij.

BACA JUGA:Rekomendasi LD PBNU Soal Larangan Penyebaran Wahabi Mulai Direspon Warganet

BACA JUGA:Mengapa LD PBNU Mendorong Pemerintah Melarang Penyebaran Paham Wahabi di Indonesia

Pangkal paradoksalitas Wahabi tercium oleh Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literalisme yang menghantarkan pada ‘taklid baru yang menjijikan’. Terjadi pendangkalan Islam yang tak terelakkan, dimana dikatakan ‘menghempas progresif, mendulang regresif’.  (Mukti Ali el-Qum,nu.or.id./diakses: 24/5/2024).

Kaum Salafi-Wahabi kerap pula dikaitkan dengan pintu masuk terorisme. Ustadz Abdul Somad (UAS), medcom.id./diakses:24/5/2024, pernah menjelaskan tentang Wahabi dan Salafi, yang menurut beliau (UAS), tidak ada perbedaan antara keduanya.

Wahabi berasal dari Muhammad Bin Abdul Wahab, maka pengikutnya dinamakan Wahabi tapi nama itu punya konotasi buruk atau negatif, maka berganti menjadi Salafi, dimana Salafi baju baru, Wahabi baju lama.

 Namun, dikatakan UAS, kelompok Salafi-Wahabi, tidak semuanya dikategorikan ekstrim.

Ada yang ekstrim, seperti membunuh orang, yang lain dari mereka boleh dipancung, tapi  ada juga yang ‘tengah-tengah’, masih bisa berdialog  karena mereka membahas dan membantah tahayul, bid’ah dan kurafat.

UAS mencontohkan, dari sebuah hadist yang terkenal, bahwa umat terpecah 73 golongan. Semua masuk neraka, salafi berkeyakinan dari semua golongan tersebut, golongan yang masuk surga hanya Salafi saja, yang lain masuk neraka. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: