The History of Cut Gambang, Putri Cut Nyak Dien yang Gagah Berani Menentang Penjajahan
Ilustrasi--net
The History of Cut Gambang, Putri Cut Nyak Dien yang Gagah Berani Menentang Penjajahan
SUMEKS.CO - The history of Cut Gambang, sosok putri Cut Nyak Dien yang gagah berani menentang penjajahan.
Sejarah mungkin memang jarang sekali mengangkat kisah putri Cut Nyak Dien yang merupakan sosok pejuang pada penjajahan Belanda.
Cut Gambang, putri Cut Nyak Dien ini memliki keberanian yang luar biasa dalam melawan penjajah.
Tentu kisah sejarah ini merupakan bagian epik yang diabadikan terutama menjadi spirit bagi muslimah sendiri.
Peran besar Cut Gambang dalam gerilyanya juga menjadi bukti mengenai kekuatan perempuan yang luar biasa.
Keberanian para muslimah Aceh di kancah Perang Sabil ini turut diabadikan oleh seorang mantan prajurit Belanda.
HC Zentgraff dalam bukunya yang berjudul “Aceh” menuliskan kehebatan dan kedahsyatan para muslimah Aceh.
Hal ini ditulis pada halaman 78 yang berbunyi, “Wanita Aceh gagh berani adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap kita yang tiada tara serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu energi yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan pria. Ia adalah pengemban dendam yang membara, sampai-sampai ke liang kubur atau dihadapan maut pun masih berani meludah ke muka si “kaphe” dalam bahasa Aceh ialah kafir”.
Pada Maret 1873, Perang Aceh sebagai perang kolonial terdahsyat dan terlama dalam sejarah penjajahan Belanda di timur ini digelar.
Salah satu keunikan perang ini ialah Belanda memproklamasikan perang secara resmi kepada sultan Aceh di masa itu yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Para sejarawan menganalisis bahwa penyebab utama Belanda keukeuh mengajak Aceh berperang ialah Belanda tidak ingin adanya kekuatan politik besar negara lain di Aceh.
Hal ini akan menghalangi Belanda untuk memonopoli sumber daya alam dan jalur strategis di sekitar kawasan Kesultanan Aceh.
Dahsyatnya perlawanan itu memaksa Belanda untuk hengkang dari Aceh dengan cara yang memalukan.
Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler yang merupakan komandan tinggi pasukan Belanda tewas tertembak di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Singkat cerita, ekspedisi kedua Belanda menuntut balas ini dipimpin oleh jenderal tua yang sebenarnya sudah pensiun yaitu Jan van Swieten.
Bulan Desember hingga Januari 1874 perang kembali berkecamuk dan kali ini Belanda berhasil menguasai istana Sultan Aceh yaitu Darud Dunya.
Perjuangan muslim Aceh ini menjadi masa perang gerilya sehingga mereka membentuk pasukan kecil yang lincah dan gesit.
Pasukan muslim ini menyerang konvoi dan patroli pasukan Belanda, kemudian dengan cepat menghilang di hutan belantara.
Pada saat itu, taktik perang gerilya yang bersih dan cekatan oleh pasukan Aceh membuat ngeri pasukan Belanda.
BACA JUGA:Justice League In Real Life, Liga Keadilan Dunia Nyata Bukti Gemilangnya Sejarah Islam
Saat perang-perang ini pula, muslimah Aceh akhirnya terlibat aktif untuk memanggul senjata, mengayunkan klewang, dan menembakkan senapan.
Perempuan-perempuan ini tidak hanya duduk diam menunggu di rumah dengan cemas, tetapi turut bergerilya di hutan dan juga berkorban nyawa.
Perempuan Aceh menanggung penderitaan hidup yang berat dengan kekurangan makan, tidur, kedinginan bahkan tak jarang melahirkan di hutan.
Begitu pula yang dirasakan oleh Cut Gambang, putri dari pasangan bangsawan yaitu Cut Nyak Dien dan Teuku Umar.
BACA JUGA: Afrika Selatan Sang Najasyi Baru, Mengingat Kembali Sejarah Raja Adil yang Menolong Kaum Muslimin
Cut Gambang dan sang suami, Teungku Cik Mahyed turut menjadi pejuang yang tak mengenal damai pada kaum penjajah.
Mereka dan pasukannya bergerilya di daerah sekitar Tangse pada dekade pertama sekitar abad ke-20.
Serangan mereka atas iring-iringan perbekalan pasukan Belanda sangat ditakuti dan amat menyulitkan musuh.
Oleh karena itu, Belanda mengerahkan pasukan kontra-gerilya, Korps Marechausse (Marsose) untuk memburu pasangan suami istri tersebut.
BACA JUGA:Pemkot Palembang Respon Keluhan Warga Kecamatan Sako untuk Atasi Banjir
Sejak 1909, sepasukan Marsose dibawah pimpinan Kapten Harko Johannes ditugaskan untuk mengejar pasukan Cik Mahyed dan Cut Gambang.
Medan yang harus dilewati oleh pasukan Belanda ialah medan yang sangat berat, hutan belantara Aceh pada abad antara 19-20 ini sangatlah liar.
Sekitar tahun 1910, Kapten Schmidt berhasil mengendus jejak persembunyian pasangan suami istri yang diburu oleh Belanda.
Schmidt dan pasukannya ini bergegas berangkan dan tiba di tempat persembunyian yang ada di tengah belantara.
BACA JUGA:Sejarah dan Struktur Bangunan Dome of the Rock, Tempat Suci di Yerusalem
Mereka mengepung tempat tersebut dan kontak senjata telah menjatuhkan beberapa korban dari pasukan Aceh.
Dalam penyergapan ini, Belanda mengalami kegagalan karena sulitnya pergerakan melawan musuh sebab kondisi hutan yang rapat sehingga mereka bertarung dengan senjata tajam.
Senjata tajam yang digunakan oleh pejuang Aceh ialah Klewang yaitu semacam golok panjang khas Aceh.
Tidak berhenti disitu, Schmidt memerintahkan pasukannya untuk terus menyisir medan pertempuran.
BACA JUGA:The First Muslimah Nurse, Kisah Sahabat Wanita yang Menjadi Perawat Pertama dalam Sejarah Islam
Saat itulah ditemukan serang wanita dengan pakaian serba hitam tergeletak diatas tanah sedang meregang nyawa, beliau ialah Cut Gambang.
Schmidt yang juga fasih dalam bahasa Aceh bergegas menghampiri Cut Gambang, ia menawarkan minum dan membalut lukanya.
Meski begitu, Cut Gambang tetap memasang wajah yang perkasa dan tidak meminta belas kasihan musuhnya sama sekali.
BACA JUGA:Keajaiban Tato Suku Mentawai, Jejak Sejarah dan Filosofi Sebagai Tato Tertua di Dunia
Cut Gambang menolak semua bantuan dari Schmidt dengan berkata bahasa Aceh yang artinya, “Jangan sentuh aku, kafir kusta!”(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: