DME: Distorsi Meritokrasi Energi? Perspektif Dimetil Eter (DME) Kandidat Suksesor LPG

DME: Distorsi Meritokrasi Energi?  Perspektif Dimetil Eter (DME) Kandidat Suksesor LPG

Kampus Unsri Palembang--

Sebenarnya, tujuan utama konversi Minyak Tanah ke Elpiji untuk mengurangi subsidi. Maklum, Minyak Tanah, yang biaya produksinya setara dengan Avtur, selama ini dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah yang terkonsentrasi di perdesaan. Sehingga pemerintah memberikan subsidi harga. Kebijakan yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini cukup membebani keuangan negara.Konsumsi Minyak Tanah sebelum dilakukan konversi mencapai kisaran 12 juta Kilo Liter (KL) setiap tahun. Ketika itu, besaran subsidi mencapai sekitar Rp 25 triliun. 

Perjalanan LPG sebagai anak emas sumber energi termal di sektor  konsumsi rumah tangga dan industri kecil dari hari ke hari sudah semakin meredup. Hal ini terjadi musababnya adalah semakin tingginya permintaan LPG, maka ketersediaan LPG (feedstock) di Indonesia juga akan semakin terbatas sehingga Indonesia harus mengimpor kebutuhan  LPG. Saat ini biaya yang diperlukan untuk mengimpor Liquid Petroleum Gas (LPG) bernilai Rp80 triliun per tahun dan untuk subsidi per 1 juta ton kurang lebih Rp 13 triliun, sehingga total subsidi untuk gas LPG tidak kurang dari sekitar Rp 80 triliun sampai Rp 90 triliun per tahun. 

Penyakit kronis LPG ini semakin menjadi manakala sistem manajemen rantai pasok antara LPG PSO dan NPSO tidak direncanakan degan terukur dan melalui studi yang jelas. Ada kalanya  distribusi tidak lancar dan harga eceran LPG yang diatas HET, namun ada saat dimana pasokan LPG di tingkat eceran menjadi banjir karena kucuran pasokan “dari langit”.

Hal ini yang kemudian menjadi alasan tahta anak emas LPG akan segera digantikan oleh senyawa-senyawa kimia kandidat suksesor. Saat ini meritokrasi LPG sebagai Sumber Energi Termal untuk sektor Konsumsi Rumah Tangga dengan segudang ragam keberhasilan dan kesuksesan dalam menggantikan peran Minyak Tanah nampaknya akan segera berakhir. Lantas bahan bakar apa yang dinilai tepat untuk menggantikan posisi LPG yang saat ini terlanjur dicintai oleh masyarakat? 

Berbagai macam studi dan proyeksi untuk menggantikan posisi puncak LPG dilakukan dengan berbagai macam metode. Di daerah dan kawasan yang masuk dalam aliran jaringan Gas Alam, Pemeritah melalui PGN telah gencar melakukan proyek pipanisasi dan instalasi Unit Gas Alam ke konsumen rumah tangga.

Pengalihan skema metode bottling menjadi piping yang selama ini dilakukan PGN dinilai belum menjadi cara yang yang sesuai dengan kondisi saat ini dan terbatas pada kawasan tertentu sehingga tidak dapat diterapkan secara menyeluruh. Walau secara price and value Gas Alam menjanjikan untuk proyeksi masa mendatang, nampaknya perlu waktu adaptasi yang lebih lama dan manajemen yang padu padan antara berbagai stakeholder menjadi variabel yang tidak dapat terpisahkan. 

Upaya minimalisasi impor LPG harus dilakukan secara cepat dan ringkas adalah urgensi pengurangan impor bukan merupakan sebuah opsi tapi sebuah kemutlakan. Untuk itu, perlu adanya senyawa kimia yang berperan sebagai substituen LPG dengan tetap menggunakan skema alur distribusi yang lama yaitu bulk delivery dan bottling. Dari berbagai studi yang ada senyawa kimia yang kemudian masuk ke dalam radar adalah Dimetil Eter. Hal ini bukan tanpa dasar, mengingat ada beberapa kesamaan sifat fisik dan kimia antara LPG dan Dimetil Eter. 

Dari sudut pandang ilmu Kimia, DME memiliki mono struktur kimia yang sederhana (CH3-O-CH3) berbentuk gas pada ambient temperatur (suhu lingkungan) dan dapat dibah menjadi fase cair dalam keadaan bertekanan seperti halnya Liquefied Petroleum Gas (LPG), Senyawa ini diperoleh dari reaksi Dehidrasi Metanol. Sedangkan Metanol diproduksi dari mereaksikan Syn Gas ( Karbon Dioksida / Karbon Monoksida dengan Hidrogen).

Selain sebagai bahan bakar yang multi source (banyak sumber), dapat diproduksi dari berbagai bahan baku diantaranya natural gas, fuel oil, batubara, limbah plastik, limbah kertas, limbah pabrik gula atau biomass. Pada saat ini DME diproduksi dari Gas Alam dan Dimetil Eter  adalah senyawa kimia multifungsi penggunaannya sebagian besar adalah untuk aerosol propellant (gas pendorong) sebagai pengganti dari CFC (chlorofluorocarbon) pada hair spray atau deodorant serta penggunaan masih dalam jumlah terbatas sebagai bahan bakar rumah tangga berupa campuran (blended) DME-LPG

Berbagai macam skenario produksi Dimetil Eter menjadi ulasan dan studi yang menarik untuk diteliti dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan spin off skala industri energi saat ini. Sejak awal 2021, Presiden Jokowi telah menggadangkan DME akan menjadi calon Suksesor LPG di masa yang akan datang. Darimana datangnya DME? Program Pemerintah di Bidang Energi sudah jelas. Yaitu Hilirisasi Batubara yang secara tidak langsung akan menutup keran untuk memproduksi DME dengan metode yang lain.  

Berkenaan dengan impor LPG, Kementerian ESDM menyatakan bahwa industri hilirisasi batu bara mulai beroperasi dalam empat tahun mendatang akan mengarah pada sejumlah kepentingan yang selaras dengan program SDG dan SEforAll. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral maka angin segar bagi investor adalah pembebasan pembayaran royalti bagi perusahaan pertambangan batu bara yang melakukan hilirisasi. 

Sejumlah insentif disiapkan bagi tujuh skema hilirisasi batu bara, yaitu gasifikasi batu bara, pembuatan kokas underground coal gasification, pencairan batu bara, coal slurry/coal water mixture, peningkatan mutu bara bara, dan pembuatan briket. Khususnya untuk Gasifikasi Batubara akan diarahkan menjadi Dimetil Eter sebagai Pengganti LPG. 

Melalui proyek gasifikasi batu bara, produk DME yang dihasilkan dapat menggantikan Liquid Petroleum Gas (LPG) yang selama ini dipasok melalui impor dengan nilai Rp80 triliun per tahun dan untuk subsidi per 1 juta ton kurang lebih Rp 13 triliun, sehingga total subsidi untuk gas LPG tidak kurang dari sekitar Rp 80 triliun sampai Rp 90 triliun per tahun. PT. Batubara Bukit Asam TBk. menjadi perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah dalam merealisasikan proyek ini. 

Tentu sebagian awam ilmu akan menilai sejauh mana  kelayakan proyek Batubara menjadi DME? Kenapa harus Batubara yang dibakar dan dijadikan Gas kemudian diubah lagi menjadi Fase Cair bertekanan didalam kemasan Tabung ( Bottling). Entoh, kalau sengaja dibakar dan diambil Gas Karbon Dioksida dan Karbon Monoksida serta Hidrogen kenapa harus menggunakan cara Gasifikasi? Karena adanya asumsi dan anggapan bahwa energi hasil pembakaran Batubara seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi listrik seperti di PLTU.

Kenapa tidak dibuat sistem Hibrida dimana Sistem Produksi Energi Listrik dan Senyawa Kimia secara Terpadu dalam satu proses. Awam akan berpikir , Untuk memproduksi DME tinggal mengambil CO2 dari alam karena ketersediaan Karbon dioksida dan Karbon monoksida cukup berlimpah di alam, tinggal satu tahap yaitu produksi Hidrogen yang saat ini telah menggunakan banyak metode yang tergolong proven technology. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: