DME: Distorsi Meritokrasi Energi? Perspektif Dimetil Eter (DME) Kandidat Suksesor LPG

DME: Distorsi Meritokrasi Energi?  Perspektif Dimetil Eter (DME) Kandidat Suksesor LPG

Kampus Unsri Palembang--

Oleh : Budi Santoso, S.T.M.T. (Prodi Doktor Ilmu Teknik Universitas Sriwijaya) 

Populasi Dunia pada tahun 2030 akan mengalami peningkatan mencapai 8.3 miliar. Berbagai implikasi turut menyertai penambahan ini, salah satu dampak yang paling signifikan adalah meningkatnya konsumsi energi dunia rata-rata akan tumbuh pada kisaran 1.6% per tahun, sehingga akan bertambah hingga 36% pada tahun 2030. Sebuah angka yang menjadi perhatian dan kewaspadaan dalam upaya penyediaan sumber energi yang mencukupi dan terjangkau mendukung pembangunan berkelanjutan.

Dalam upaya mengentaskan permasalahan global maka PBB menggantikan program Tujuan Pembangunan Milenium yang ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin dari 189 negara sebagai Deklarasi Milenium di markas besar PBB pada tahun 2000 dengan Sustainable Development Goals, disingkat SDGs atau Global Goals) yaitu termaktubnya  17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan sebagai agenda dunia pembangunan untuk keselamatan manusia dan planet bumi. Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030.

Mengawali perjalanan SDG sebagai tujuan globaL, di bidang energi PBB telah mencanangkan program sejak tahun 2012 yaitu Sustainable Energy for All (SE4All) dan menetapkan tahun 2014-2024 sebagai UN Decade for Sustainable Energy for All. Pertemuan terakhir adalah the 4th Sustainable Energy for All (SEforALL) Forum dengan tema “Leave No One Behind" yang diselenggarakan di Lisabon, Portugal, pada tanggal 2-3 Mei 2018.

Forum ini fokus terhadap pencapaian target dari Goal 7 – Ensure Access To Affordable, Reliable, Sustainable And Modern Energy For All, dengan 3 target spesifik antara lain; Akses universal terhadap listrik dan bahan bakar dan teknologi bersih untuk memasak, meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi dunia; dan menggandakan laju peningkatan efisiensi energi dunia.

Dalam konteks nasional, pelaksanaan diplomasi energi Indonesia saat ini difokuskan pada kerja sama antara lain dalam mengamankan kecukupan pasokan energi, pengembangan energi terbarukan, peningkatan akses terhadap energi modern, dan efisiensi energi.

Ironisnya Indonesia memiliki tingkat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang sangat besar. Saat ini Indonesia merupakan negara pengimpor BBM akibat pasokan energi dalam negeri mengalami kenaikan cukup signifikan. Menilik dari 3 target spesifik program SEforAll di bagian teknologi bersih untuk memasak, faktual yang terjadi adalah angka  impor LPG dalam lima tahun terakhir yang terus meningkat.

Bahkan pada 2019 impor LPG mencapai 5,7 juta ton atau senilai US$ 2,5 miliar. Kemudian  konsumsi LPG 2020 meningkat sebesar 8,0 juta ton, 6,1 juta (76%) masih impor. Sehingga Pemerintah kehilangan devisa sebesar Rp 55,7 triliun. Selanjutnya pihak terkait yaitu Kementerian ESDM memproyeksikan pada 2025, kebutuhan LPG meningkat menjadi sekitar 8,8 juta ton. Hal ini tentu akan membebani APBN dan berdampak pada melemahnya ketahanan energi. 

Pemerintah saat ini sedang menyusun Grand Strategi Energi Nasional untuk menjamin ketersediaan energi yang cukup, kualitas yang baik, harga yang terjangkau dan ramah lingkungan dalam kurun waktu tahun 2020-2040. Strategi yang dikembangkan antara lain meningkatkan lifting minyak, mendorong pengembangan kendaraan listrik, pengembangan dan pembangunan kilang, serta pengembangan EBT untuk mengurangi impor minyak.

Sedangkan untuk mengurangi impor LPG melalui strategi penggunaan kompor listrik, pembangunan jaringan gas kota, dan pemanfaatan dimetil eter. Pelaksanaan Grand Strategi Energi Nasional juga mempertimbangkan kondisi pengembangan energi nasional saat ini, memperhatikan sumber EBT yang tersedia, dan menyesuaikan dengan tren ekonomi EBT. Di dalam pemilihan bahan bakar alternatif yang harus dipertimbangkan diantaranya yaitu ramah lingkungan, efisiensi energi tinggi, dapat diperbaharui (renewable) dan drop in substitute (pengganti langsung) atau sedikit modifikasi pada komponen mesin. 

Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia saat ini mencapai 1,6 juta barel per hari (bph). Namun, kapasitas kilang minyak di dalam negeri hanya 850.000 bph, sisanya harus dipenuhi dari impor."Cadangan minyak bumi kita yang semakin menurun, kapasitas kilang kita yang hanya sekitar 850.000 bph, sementara kebutuhan kita 1,6 juta bph. Ini membuat 50% dari kebutuhan itu harus diimpor," menurut Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah (Finance.detik.com, 2016).

Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang kebijakan energi nasional dan Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar alternatif sebagai bahan bakar lain berusaha untuk mengatasi hal tersebut di atas. Salah satu bahan baku alternatif yang prospektif adalah bahan bakar gas (BBG) karena menurut Pengamat Perminyakan/Pakar Energi dan Pertambangan, Kurtubi, bahan bakar gas lebih murah dan ramah lingkungan. Pemerintah saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefield Petroleum Gas (LPG).  

Meski awalnya banyak yang menyangsikan akan berhasil, konversi Minyak Tanah ke LPG menjadi fenomena penting program konversi energi di Indonesia. Apalagi, keberhasilan mengubah kebiasaan masyarakat yang turun termurun dari generasi ke generasi menggunakan Minyak Tanah beralih ke LPG  bukan sekadar persoalan teknis, namun juga sarat dengan aspek sosial dan budaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: