Tantangan dan Harapan Baru Lewat Teknologi EEG Portabe, Epilepsi Bukan Kutukan

Jumat 18-07-2025,19:40 WIB
Reporter : Wiwik
Editor : Wiwik

"Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk kualitas hidup mereka dan meningkatkan risiko komplikasi,” kata dokter Siti. 

Di sisi lain, menurut dokter Siti terdapat keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan neurologis, terutama di daerah-daerah terpencil. 

“Fasilitas seperti elektroensefalografi (EEG) sebagai alat utama dalam mendiagnosis epilepsi masih sangat terbatas dan umumnya hanya tersedia di rumah sakit tipe A atau B, dan sebagian tipe C” ujarnya.

BACA JUGA:Menkes Izinkan PPDS Buka Praktis Biar Dapat Duit, dr Ramadhani: Capek Pak Bagaimana Kalau Digaji Saja?

BACA JUGA:Mengenal 7 Gejala Skizofrenia yang Diduga Diidap Rifin Dengdeng, ODGJ Ikonik Asal Palembang

“Selain itu, jumlah dokter spesialis saraf (neurolog) juga masih minim dan penyebarannya tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.”

Kolaborasi adalah Kata Kunci

Menanggapi tantangan diagnosis epilepsi, dokter Siti mengatakan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah seperti membangun lebih banyak fasilitas kesehatan dan pengadaan alat EEG.

Namun keterbatasan jumlah dokter saraf masih menjadi hambatan utama. 

BACA JUGA:Diet IF: Pola Makan Jam-Jaman yang sedang Hype dan Dicintai Gen Z

BACA JUGA:Skip Dulu Nasi: Diet Low Carb Gen Z yang Bikin Badan Auto Ramping

“Karena untuk membaca hasil EEG, tetap dibutuhkan dokter spesialis,” ujarnya.

Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi, hambatan ini mulai terjawab.

  Perluasan akses terhadap layanan kesehatan spesialistik menjadi semakin memungkinkan, termasuk di wilayah terpencil.

Inovasi seperti Point of Care EEG (POC EEG) dapat menjadi solusi strategis, mendekatkan layanan diagnostik neurologis kepada masyarakat.

BACA JUGA:Mantap! Herman Deru Distribusikan Beras Premium untuk ASN dan Honorer, Komitmen Serap Hasil Petani Sumsel

Kategori :