Penyikapan Pemerintah dan Aparat
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan instruksi pada 2015 untuk menutup tambang rakyat di Gunung Botak. Meski demikian, instruksi tersebut belum terlaksana dengan maksimal.
Ribuan tenda dan kolam rendaman masih berdiri di kawasan tambang hingga kini.
Bupati Kabupaten Buru, Ramly Umasugi, menyatakan bahwa merkuri yang digunakan dalam pengolahan emas ilegal di Gunung Botak diduga dipasok dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pemasukan merkuri ini melalui jalur laut dan menjadi sumber pasokan bagi tambang emas ilegal.
Untuk mengurangi dampak dari tambang ilegal, pemerintah telah berkoordinasi dengan pihak keamanan, termasuk Polres Buru dan Kodim Namlea, serta menerbitkan maklumat pelarangan penggunaan merkuri dan sianida.
Namun, upaya ini belum cukup untuk menghentikan aktivitas penambangan.
Pemerintah Diminta Menangani Secara Serius
Peneliti dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Abraham Samuel Khouw, mengkhawatirkan potensi terjadinya tragedi serupa dengan kasus pencemaran merkuri di Minamata, Jepang, pada 1958.
Dia menjelaskan bahwa pencemaran di Gunung Botak ini berpotensi jauh lebih parah, mengingat sudah ada tanda-tanda berupa kematian ternak akibat kontaminasi merkuri.
Khouw merekomendasikan agar pemerintah menutup kawasan yang terkontaminasi merkuri dan melarang aktivitas penambangan di sekitar Gunung Botak demi melindungi masyarakat dan ekosistem di Pulau Buru.
Upaya penutupan tambang ilegal ini merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, dan diperlukan koordinasi yang solid dengan pihak keamanan serta penegakan hukum untuk menindak pihak-pihak yang mengedarkan merkuri dan sianida.
BACA JUGA:Demo Tolak Tambang Emas, Warga Tewas Tertembak
Penanganan Berkelanjutan: Solusi bagi Pulau Buru
Penutupan tambang liar di Gunung Botak hanya bisa efektif jika didukung oleh seluruh pihak, termasuk masyarakat dan aparat penegak hukum.