Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Abdus Somad berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Sungguhlah tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Nusantara, bahkan Arab sekalipun.
Pada aktivitas intelektual keagamaan. Abdus Somad banyak mengkritik tarekat yang berlebihan, meskipun dia mendalami ilmu tasawuf, tidak bermakna Syeikh Abdus Somad tidak kritis.
BACA JUGA:Usai Ziarah ke Makam KH M Dimyati di Pandeglang, Ustaz Abdul Somad Dinasehati Ulama Banten, Ada Apa?
Abdus Somad kerap mengkritik keras kalangan yang menjalankan tarekat secara berlebihan. Abdus Somad kiranya selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat yang tidak berdasar.
Khususnya tarekat yang berkembang di Aceh seperti konsep Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.
Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Abdus Somad menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah).
Dua kitab karya Imam Al-Ghazali tersebut dinilainya secara moderat dapat membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi yang tidak melenceng dan fanatik.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Abdus Somad mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wahdatul wujud dan Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Allah SWT dalam semua fenomena alam dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga dapat melihat Allah SWT sebagai penguasa mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Abdus Somad dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Somad berada di negerinya Palembang.
Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, dia bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Kesultanan.
Rasa tak senang itu menimbulkan perasaan tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun dia kelahiran negeri itu.
Terakhir Sheikh Abdus Somad mengambil keputusan untuk meninggalkan Palembang karena ketidaksukaannya terhadap Belanda. Abdus Somad meminta petunjuk Allah dengan melakukan sholat istikharah. Keputusannya, dia mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Mekah.(*)