Hampir setiap tahunnya, klenteng ini paling ramai dikunjungi pada saat tanggalan Tionghoa pada tanggal 1 (Ce It) dan 15 (Cap Go). Namun, sayangnya tahun ini perayaan Cap Go Meh ditiadakan, sehingga perayaan Imlek pun dilaksanakan sesederhana mungkin.
Biasanya di malam perayaan Imlek, warga keturunan Tionghoa memiliki tradisi menyiapkan sesajian bagi para leluhur. Namun di Klenteng Dewi Kwan Im ada hal berbeda yang dilakukan. Yakni, klenteng tidak menyajikan atau tidak mengizinkan sesaji darah babi dan anjing.
Hal tersebut dipengaruhi karena adanya kisah warga Tionghoa yang menikah dengan umat muslim berkaitan dengan sejarah Pulau Kemaro dan Kampung Kapitan. Selaras legenda putri Palembang, Siti Fatimah yang merupakan seorang muslim, menjadi istri seorang Pangeran Cina bernama Tan Bon An.
BACA JUGA:Yuk, Rayakan Tahun Baru Imlek di Emilia Hotel Palembang, Hadirkan Chinese Set Menu
Klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) Palembang atau lebih dikenal dengan Klenteng Dewi Kwan Im Palembang adalah satu dari beberapa kota di Indonesia yang memiliki akulturasi budaya lokal dengan budaya Tionghoa cukup kental.
Boleh dibilang klenteng Chandra Nadi (Soei Goeat Kiong) merupakan klenteng yang tertua di Palembang. Dibandingkan klenteng lainnya, klenteng Dewi Kwan Im lebih ramai didatangi. Berbagai prosesi ibadah masyarakat Tionghoa di Palembang digelar di sini.
Tidak hanya masyarakat kota Palembang, dari luar kota bahkan luar negeri pun beribadah disini, seperti dari Jambi, Pontianak, Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan masih banyak lagi. Karena klenteng tertua, jadi banyak acara yang diselenggarakan disini.
Klenteng Dewi Kwan Im Palembang
Klenteng Dewi Kwan Im ini dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda, pada 1733. Namun, Klenteng yang terletak di Kampung 10 Ulu ini merupakan pengganti dari klenteng yang terbakar di kawasan 7 Ulu.
BACA JUGA:Harper Hotel Palembang Meriahkan Imlek dengan Menu CiaTok
Menurut sejarah, pembangunan klenteng kampung 10 Ulu karena di kampung tersebut terdapat makam seorang panglima Palembang keturunan Tionghoa bernama Ju Sin Kong atau biasa disebut Apek Tulong. Dia beragama Islam. Sebelum dijadikan klenteng, setiap orang berziarah ke situ mendapatkan keberkahan atau terbebas dari penyakit.
Memasuki halaman klenteng yang terletak di Jalan Perikanan, 10 Ulu, Palembang ini, disambut dengan aroma dupa (hio) wangi. Dupa yang dipercaya sebagai salah satu sarana sebagai penghubung ke Thien. Thien disebut “langit” atau sebagai Tuhan Yang Esa.
Melangkah masuk ke dalam, terdapat altar dewa, mulai dari altar Dewi Maco Po atau penguasa laut (juga disebut sebagai dewi yang menguasai setan dan iblis) dan altar Dewi Kwan Im atau penolong orang yang menderita sudah tersusun secara berurut.
Selain itu, ada altar Sakyamoni Buddha (Sidharta Buddha Gautama), altar Bodhisatva Maitreya (calon Buddha), altar Dewi Kwan Tee (pelindung dharma), altar Dewi Paw Sen Ta Tee atau dewi uang dan pemberi rezeki. Kemudian altar Dewi Chin Hua Niang Niang atau Dewi Mak Kun Do, altar Giam Lo Ong (raja neraka), dan altar Dewa Toa Pek Kong berbentuk macan.
BACA JUGA:Tahun Baru Imlek, PT KAI Divre III Operasikan KA Sindang Marga
Di bagian belakang klenteng terdapat satu altar yang berisi kumpulan berbagai patung titipan umat. Klenteng itu digunakan umat dari tiga agama dan kepercayaan untuk berdoa.Ketiga agama dan kepercayaan yang diakomodasi di klenteng ini adalah Buddha, Tao, dan Konghucu.