Banner Pemprov
Pemkot Baru

Redenominasi Rupiah: Gagasan Elitis atau Untuk Rakyat? Sebuah Perspektif Kerakyatan

Redenominasi Rupiah: Gagasan Elitis atau Untuk Rakyat? Sebuah Perspektif Kerakyatan

Wacana Redenominasi dan Realitas Lapangan: Perspektif Akar Rumput dan Kepentingan Publik--

Oleh: M. Luthfi, Mahasiswa Program Studi: Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang  [email protected]    


M. Luthfi, Mahasiswa Program Studi: Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang.-dok.Sumeks.co-

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, Belakangan ini, wacana redenominasi atau ‘pemotongan nol’ pada Rupiah kembali mencuat dari lingkaran elit yang kerap jauh dari realitas rakyat.

Gagasan ini seringkali disampaikan dengan bahasa yang indah dan rumit: efisiensi, modernisasi, dan gengsi internasional. Sebagai wakil rakyat yang turun langsung mendengarkan keluh kesah di akar rumput, saya merasa perlu untuk menyuarakan hati nurani.

Kita harus bertanya: untuk siapakah sebenarnya kebijakan ini? Untuk kepentingan segelintir kalangan, atau untuk meringankan beban rakyat kecil?

 Sebelum kita terbius oleh wacana-wacana yang mengawang, mari kita lihat fakta di lapangan. Efisiensi untuk Siapa?  

Mereka bilang, redenominasi akan mempermudah transaksi. Memang, bagi kalangan pelaku konglomerasi yang bertransaksi dalam jumlah miliaran, memotong beberapa nol mungkin memudahkan perhitungan.

Namun, apakah Ibu Penjual Sayur di pasar tradisional merasakan kesulitan yang sama? Baginya, menghitung Rp 1.000, Rp 2.000, atau Rp 1.000.000 adalah hal yang sudah mendarah daging. Yang menjadi beban pikirannya bukan jumlah nol, tetapi apakah hari ini dagangannya laku dan cukup untuk membayar uang pangkal anaknya.

  Mereka bilang, ini akan menyederhanakan sistem akuntansi. Sistem siapa? Sistem perusahaan besar dan laporan keuangan negara.

Lalu, bagaimana dengan Bapak Tukang Bakso yang mencatat keuangannya di buku tulis kecil? Akankah kebijakan senilai triliunan rupiah ini membuat pencatatannya lebih mudah?

Justru yang terjadi adalah kebingungan massal. Kekhawatiran terbesar saya adalah jika harga segelas teh botol yang tadinya Rp 5.000, dalam pemahaman yang kacau, tiba-tiba disebut Rp 5, tetapi daya belinya berubah. Inilah yang kita sebut sanering, dan sejarah kelamnya telah melukai rakyat Indonesia.

Biaya Fantastis yang Harus Ditanggung Rakyat  

Mari kita bicara yang nyata: uang rakyat. Proses redenominasi ini bukanlah proses yang murah. Ini adalah proyek mercusuar yang membutuhkan dana yang sangat besar.  

Bayangkan: Pencetakan ulang semua uang kertas dan koin. Penyesuaian seluruh sistem perbankan, mesin EDC, dan ATM.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: