Dari Syair ke Swipe: Simbur Cahaya, Etika Leluhur, dan Komunikasi Kontemporer

Kampung Kapitan di tepian Sungai Musi atau di Jalan KH. Azhari Kelurahan 7 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang--
Catatan: Masayu FA Indriaty. Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Di era ketika media sosial menjadi panggung utama komunikasi publik, seringkali kita lupa bahwa kata-kata tak pernah bebas nilai.
Jauh sebelum warganet berdebat soal etika digital, masyarakat Palembang masa lampau telah menjadikan kata-kata sebagai hukum dalam kitab yang disebut Simbur Cahaya.
Afriyanti (2016) dalam buku “Kitab Simbur Cahaya: Hukum Adat Kesultanan Palembang Darussalam” menjelaskan, kitab SimburCahaya disusun dalam bentuk syair hukum.
Kitab ini memuat aturan tentang perilaku, sopan santun, bagaimana cara kita berbicara, duduk, dan menghormati orang tua, hingga relasi antar manusia, terutama dalam konteks komunikasi dan relasi sosial.
Kitab Simbur Cahaya bukan hanya kitab hukum biasa. Simbur Cahaya adalah potret nilai budaya, tentang bagaimana orang dahulu berkomunikasi, menjaga tata krama, hingga mengatur relasi perempuan di ruang sosial.
Itulah mengapa, di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat dan terbuka, membaca ulang kitab ini seperti belajar lagi nilai etika dari leluhur yang sangat mencintai keseimbangan, kebersamaan, dan kehormatan personal maupun kolektif.
Simbur Cahaya sebagai warisan hukum dan budaya Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke 17 merupakan salah satu teks Melayu klasik yang memuat norma sosial, etika, yang melembaga dalam struktur masyarakat.
BACA JUGA:Jurnalis Asal Sumsel Masayu Indriaty Susanto Terbitkan Antologi Esai
Masayu FA Indriaty. Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta--
Ditulis oleh Ratu Agung Sinuhun, permaisuri Sultan Palembang, seorang perempuan bangsawan yang terpelajar pada abad ke-17 dengan aksara arab-melayu (Jawi) di atas kertas buatan Eropa. Simbur Cahaya sendiri berarti semburan atau hembusan cahaya penerang.
Struktur Kitab Simbur Cahaya terdiri atas pasal-pasal yang disusun dalam bentuk naratif, tidak selalu sistematis seperti kitab hukum modern. Tiap pasal mengandung aturan, larangan, dan sanksi yang disampaikan dengan gaya bahasa berpantun, bersyair, dan bersajak, khas tradisi lisan Melayu. Hal ini menunjukkan bahwa kitab ini juga dirancang untuk dibacakan atau dituturkan, bukan semata-mata untuk dibaca dalam diam.
Banyak pasal yang menyatakan larangan atau perintah dengan gaya tidak langsung, seperti “Tiada elok perempuan keluar rumah tanpa izin suami atau orang tua” atau “Barang siapa berkata kasar kepada ibu bapanya, maka layaklah ia dikenakan malu dan diajarkan adab”.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: