Wabup OKU Marjito Bachri Diseret KPK Jadi Saksi Sidang Korupsi Fee Proyek Pokir DPRD

Wabup OKU Marjito Bachri Diseret KPK Jadi Saksi Sidang Korupsi Fee Proyek Pokir DPRD--
Dana suap itu disebut berkaitan erat dengan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 yang sempat mengalami kebuntuan akibat konflik internal DPRD.
Kebuntuan itu melibatkan dua kubu besar, yakni kubu Bertaji (Bersama Teddy-Marjito) dan kubu YPN Yess (Yudi Purna Nugraha-Yenny Elita).
Pertentangan antar-kubu menyebabkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) tak kunjung terbentuk hingga memasuki tahun 2025. Barulah pada 13 Januari 2025, AKD berhasil dibentuk, dengan dominasi penuh kubu Bertaji.
Jaksa KPK kembali hadirkan sejumlah nama termasuk Wabup OKU Marjito Bachri sebagai saksi korupsi penerima fee proyek pokir DPRD OKU--
BACA JUGA:Pablo Terdakwa Suap Proyek Pokir DPRD OKU Akui Kesalahan, Minta Keringanan Hukuman
Umi Hartati sendiri kemudian menjabat Ketua Komisi II, sementara dua koleganya, Ferlan dan Fahruddin, masuk ke Komisi III sekaligus duduk dalam Badan Anggaran (Banggar).
JPU KPK juga mengungkap adanya pertemuan penting antara DPRD dan Pemkab OKU di Rumah Dinas Bupati OKU. Pertemuan tersebut dihadiri sejumlah nama besar, di antaranya Umi Hartati, Ferlan, Fahruddin, Robbi Vertigo, dan Parwanto.
Dari pihak eksekutif hadir Pj Bupati OKU saat itu serta Kepala BPKAD Setiawan.
"Dalam forum itu, DPRD mengusulkan paket pekerjaan pokir senilai Rp45 miliar untuk masuk dalam RAPBD 2025. Namun Pj Bupati menolak dengan alasan dana pokir tidak bisa diakomodasi langsung. Sebagai gantinya, anggota DPRD dijanjikan uang komitmen dari rekanan proyek," beber JPU dalam persidangan sebelumnya.
BACA JUGA:3 Terdakwa Korupsi Pokir Anita Noeringhati Dijerat Pasal Berlapis, Terancam 3 Tahun Penjara
BACA JUGA:Bersyukur! Tenaga Honorer Wajib Diangkat Jadi PPPK Paling Lambat 1 Oktober 2025 Sesuai UU ASN
Atas kesepakatan tersebut, terdakwa Nopriansyah kemudian menghubungi pihak swasta, yakni M Fauzi alias Pablo dari CV Daneswara Satya Amerta dan Ahmad Sugeng Santoso.
Mereka ditawari paket proyek Dinas PUPR dengan kewajiban menyetorkan fee kepada DPRD. Tawaran itu disetujui, dan aliran dana pun mulai berjalan.
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tipikor, dengan alternatif Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: