Mobilisasi tidak hanya menuju lokasi PT Mustika Indah Permai (MIP), tetapi juga ke site PT Dizamatra Powerindo di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat.
Alat-alat berat seperti Bulldozer D155, Excavator PC500, hingga PC850 disebut telah digerakkan melewati jalur umum. Hal ini memicu keluhan warga yang kembali melihat jalan publik dijadikan jalur operasional kegiatan perusahaan tambang.
Terpisah Direktur Eksekutif SIRA, Rahmat Sandi, mengingatkan bahwa penggunaan jalan umum untuk kendaraan tambang merupakan tindakan yang berpotensi mengancam keselamatan.
“Truk HD itu dibuat untuk jalan tambang, bukan jalan umum. Pemerintah jangan diam,” ujarnya.
Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan, juga menyoroti kondisi infrastruktur yang tak kunjung diperbaiki meski sering dilalui kendaraan berat.
“Jembatan Muara Lawai saja belum diperbaiki. Ini malah mau dilewati truk yang lebih besar lagi,” katanya.
Dari sisi masyarakat, tokoh Muara Enim, Riswandar, menilai bahwa Dishub dan Satlantas telah kecolongan. Ia meminta agar pihak yang memberikan izin tanpa prosedur yang benar segera diberhentikan. “Fasilitas itu dibangun pakai uang rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Ade Indra Chaniago, menilai bahwa pembiaran terhadap praktik ini menandakan lemahnya pengawasan dan transparansi pemerintah.
“Ini jelas pelanggaran, tapi tidak ada tindakan. Publik bertanya-tanya: apakah perangkat pemerintah tidak bekerja atau sudah mendapat ‘sesuatu’?” kata Ade.
Ia menegaskan bahwa tanpa penjelasan resmi, polemik ini akan terus berkembang liar dan menggerus kepercayaan publik.
“Keterbukaan itu penting. Pemerintah harus menjelaskan apa masalahnya dan apa rencana tindak lanjutnya,” tutupnya.
Dengan meningkatnya tekanan publik, DPRD Sumsel menyatakan siap mengusut persoalan ini secara menyeluruh.
Semua pihak kini menunggu langkah konkret pemerintah dan aparat penegak hukum, agar penggunaan jalan umum kembali sesuai peruntukannya dan tidak menjadi korban dari kepentingan bisnis skala besar.