PALEMBANG, SUMEKS.CO,- Upaya menghidupkan kembali khazanah budaya lokal terus digencarkan Dinas Kebudayaan Kota Palembang, melalui program Museum Keliling.
Bertempat di Rumah Sintas di Jalan Jambu depan Masjid Maghfiroh pada Kamis 20 November 2025 kemarin, menjadi ruang dialog sastra yang hangat ketika puluhan pegiat budaya, akademisi, dan komunitas literasi berkumpul dalam “Diskusi Sastra untuk Komunitas.”
Suasana diskusi berlangsung akrab, tetapi juga penuh keprihatinan: karya-karya Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) ternyata lebih diapresiasi di luar Palembang dibandingkan di tanah kelahirannya sendiri.
Mengawali diskusi, sejarawan dari UIN Raden Fatah Palembang, Dr. Kemas Ari Panji SPd MSi, memaparkan dinamika kesusastraan di era pemerintahan SMB II—masa yang disebutnya sebagai “puncak keemasan intelektual Kesultanan Palembang Darussalam.”
Menurut Panji, pada awal abad ke-19, keraton Palembang bukan hanya pusat kekuasaan, tetapi juga pusat produksi naskah yang sangat aktif.
Para juru tulis keraton bekerja secara terorganisir, menghasilkan karya-karya dalam bahasa Melayu beraksara Jawi dengan ragam tema mulai dari ajaran keagamaan hingga kritik sosial dan perlawanan kolonial.
Antusiasme penggiat budaya mengikuti dialog sastra program Museum Keliling Dinas Kebudayaan Kota Palembang--Fadli
“Naskah-naskah zaman itu tidak hanya sarat nilai, tetapi juga sangat kaya secara fisik. Ada yang ditulis di kertas Eropa yang halus, ada di kertas daluang, bahkan ada yang dituliskan di bilah bambu gelumpai. Ini bukti betapa kuatnya tradisi literasi lokal,” ujar Dr. Panji.
Dalam pemaparannya, ia menyinggung sejumlah karya penting yang terkait dengan SMB II, antara lain Syair Perang Menteng, Hikayat Martalaya, Syair Sinyor Kosta, hingga Syair Burung Nuri, yang beberapa di antaranya ditulis langsung oleh sang sultan.
Syair-syair tersebut bukan hanya dokumen sastra, tetapi juga catatan perlawanan terhadap kolonialisme, gambaran intrik istana, serta refleksi spiritual sang sultan semasa pengasingan di Ternate.
Namun, di balik kekayaan tersebut, Dr. Panji menyayangkan minimnya penelitian dan kajian mendalam yang dilakukan oleh akademisi dan masyarakat di Palembang sendiri.
BACA JUGA:Lestarikan Budaya, Bupati Banyuasin Buka Lomba Bidar Sungsang